A View From Passionisti

A View From Passionisti

Tuesday 5 April 2011

Kontemplasi Bulan April

Apel



Apel yang merah. Ranum. Bagimu, apa yang kaupikirkan? 
Kata mereka yang pernah menikmati apel beracun, tertidur seribu tahun menanti Pangeran tampan datang mengecup, "Janganlah menggigitnya." Sebab pangeran tidak pernah muncul. Celaka bagimu.
Kata mereka yang menikmati anggur dari apel yang difermentasi seribu tahun, "Rasakanlah manisnya."
Mereka yang tidak pernah mencicipi tidak akan pernah mengerti.
Karena itu, apa gunanya kita berbicara berbusa-busa di sini hanya membicarakan, "Apakah rasanya apel yang ranum itu?"
Kau dan aku mencari-cari yang Tidak Ada, tapi apakah itu Tidak Ada? Kalau Tidak Ada tidaklah mungkin akan kita bicarakan di sini...Apel itu ada di meja makan, dalam keranjang buah. Memakannya langsung, mengulitinya ataupun memotongnya, ataukah memblendernya sebagai jus, atau mengupasnya membentuknya menjadi kue pai, ataukah menunggunya menjadi anggur (wine) itu terserah pada kau dan terserah pula padaku. 
Kau dan aku bicara tentang siapa yang paling benar dan siapa yang terbaik - tapi citarasa apel yang berbeda-beda dapatkah mengubahnya menjadi sebutir mangga?
Jika kau menatap langit dan menemukan pelangi, apakah ia Satu ataukah ia banyak karena berwarna-warni, dan jika aku berkata lain, apakah pelangi akan berubah menjadi awan?
Kau memandang apel karena warnanya, dan aku memandang apel karena rasanya; Tetapi, apel tidak pernah berubah menjadi mangga. Dan kau tahu mengapa. 
Kau boleh membenci apel dan aku pun boleh menyukai apel.
Jika kita berbicara tentang demokrasi dan hak-hak asasi, mungkinkah petani apel seharusnya memberikan apel secara gratis kepada kau dan aku, sebab kita kelaparan di sini, tidak memiliki sereceh pun uang untuk membeli, dan kehabisan tenaga untuk menanam apel?
Keringat yang bercucuran dari dahi petani apel, membuat kita harus bekerja keras juga untuk bisa membeli walau sebutir apel, kalau dia mau semua apel akan dimakannya sendirian, dan kalau aku mampu bisa kubeli pula seluruh kebun apelnya.
Mengapa kita berbicara sia-sia tentang apel yang sederhana. Merah (baiklah, di kebunmu mungkin warnanya hijau, tapi ia tetap apel dan bukan manggis). Ranum. Dan, hanya bagi yang pernah mencicipinya-lah yang tahu rasanya.
Sebanyak dan sejauh apapun kita berbicara tentang apel. Melihatnya dari Bulan ataupun dari dalam Bumi. Dalam terang maupun kegelapan. Jika ia berulat ia membusuk. Jika ia dimasak ia bisa menjadi makanan yang lezat maupun tidak. Apapun yang terjadi. Apapun yang kita katakan sambil melempari apel busuk kepada satu sama lain. Apel itu tetap apel.













1 comment:

Anonymous said...

inspiring...