A View From Passionisti

A View From Passionisti

Wednesday 25 September 2013

Syair-Syair September 2013 (2)



Semalam aku memanggilmu, ya memanggilmu duhai mawar,
Duhai mawar, duhai pirku yang senantiasa cemerlang!
Semalam aku mencari-cari oh barang setetes saja penawar,
Membisikkan namamu, oh pirku yang begitu gemilang!

Mengapa merindukanmu? Betapa dunia begitu memerlukan
Kehadiran merah meronamu yang indahkan dunia.
Mengapa mengharapkanmu? Betapa dunia begitu menantikan
Kembalinya kuntum segarmu yang damaikan dunia. 

Bahkan, walau setetes saja penawar, wahai pir yang mulia,
Kemana mesti kusembunyikan rasa rindu yang kutanggung?
Bahkan, walau hanya senyummu o mawar, ke mana perginya?
Hatiku tertusuk durimu, begitu dalam sakit yang kutanggung.

Air danau, air danau di seberang yang jernih tenang,
Kemana hilang cahaya rembulan yang terang-benderang?
Ingin kutuliskan sepucuk surat rindu bakal penenang,
Tetapi apa daya jiwa tercekat tak mampu mengarang.


Mawar elok, mawar rupawan, demikian dinyanyikan,
Tuan mulia, kekasih hati, satu dan tigabelas. Ya Shah
Akhirnya hanya batin yang mampu menyenandungkan,
Rindu ini dalam kesendirian, dalam keperihan ini. Ya Shah!




Syair-Syair September 2013


Bibi Miryam: 

Bunga-bunga kuning mekar di tepi lebuh raya,
Kuda-kuda mekanis melaju dalam kepadatan.
Desahku dalam hening merindukanmu jua,
Pancaranmu manis namun samar terhijabkan.




Bibi Zulaekha: 

wangi lavender membias lembut 
tenangkan sejenak penat di raga 
gejolak rasa bagaikan ombak 
tak henti memecah karang 
mengusik jiwa 

biarkan rasa ku terbang 
ke tempat yang ditujunya 
rasakan seteguk cawan kegilaan 
kegilaan yang mendamaikan.





Bibi Miryam:

Dalam diam aku melayang lenyap tidak terkesan bagai debu,
Sebab, cahaya senyumanmu telah membuatku jatuh berseru:
"Aku merindukanmu yang memantulkan bayang-bayang kelabu,
Tetapi, bahkan pantulanmu pada cermin jauh itu berkabut biru!"



Bibi Zulaekha:

Kenari kecil terpaku di pinggir jendela
menatap dunia nun jauh disana
mentari dengan hangat sinarnya
kerinduan yang memenuhi jiwa
kepada Bulbul sahabatnya,,
ia berkata
"Wahai Bulbul,, rasa ku tlah buatku merana
kerinduan yang membuncah dalam jiwa
sayatan yang buatku menderita
belenggu tak terlihat ... namun begitu terasa ..."
Bulbul menjawab dengan kicauan
"Wahai kawan,, tak hanya kau yang menyimpan
kerinduan ...
Tentang hujan,, dan awan
di negeri Kebijaksanaan
sungai yang airnya mengalir dalam cawan ...
melenakan namun tak memabukkan ....
Bersabarlah kawan,,
takkan lama lagi penantian...
dan cerita kerinduan ..
akan tersampaikan....."
 





Bibi Miryam:


Wahai kenari,
Kutitipkan kepada angin yang berhembus,
Senandung yang kusimpan sendiri...
Langit yang biru luas terhampar
Hati yang berada jauh melampaui 
Besok semoga angin melemparku jauh
Ke dalam pondok kayumu.

Monday 16 September 2013

Sohbet Dua Darwis (2)



Darwis Pertama: 



"Kota itu membuatku cemburu,"
Kata si bulbul kepada langit
Yang dipandangnya dari balik jeruji
Sangkar yang pintunya tidak terkunci.
"Aku ingin mengirimkan rindu,
Lewat angin yang berhembus 
Sebab sayapku terlalu lemah 
Untuk terbang jauh ke sana."
Bulbul itu menahan air matanya
Di dalam batin, menahan pula
Desahannya di dalam hati,
Diam-diam bersenandung sendiri.
"Tuanku telah memisahkan kami,
Meskipun kutahu mereka juga 
Diam-diam bernyanyi,
Memendam rindu kepada Taman dan mawar,
Mencoba menjadi seekor bulbul
Biasa yang menawan 
Di tengah-tengah pasar
Dan istana raja."
Kemudian, berbaringlah si bulbul,
Dan diam dalam kesendiriannya.

Darwis Kedua:


Sang Putri berlari mengitari taman labirin 

mencari jalan keluar ke dunia bebas


menuju kekasih hatinya


sambil menangis lirih ia berkata,


"Duhai Kekasih... penuh sesak rasa 


tak mampu lagi kutahan


istanaku tak lagi terasa damai dan indah


hanya belenggu bagi jiwa yang mencinta"



Sang Putri terus berlari 


mengitari taman labirin tanpa tahu kapan ia kan temui sang kekasih hati





Sunday 8 September 2013

Bulbul dan Mawar pada September Kelabu



September ini kelabu, meskipun langit tidak abu-abu. Aku seperti terlahir kembali, bergerak ke dalam kekosongan. Aku telah menjelma menjadi seekor bulbul. Seekor bulbul yang diam-diam memuja mawar, dan mawar-mawar di taman rahasia, nun jauh saujana mata memandang, namun begitu dekat di dalam kalbu. 

Bulbul pun bersenandung lirih,
"Wahai jiwa, apakah terlahir dalam tubuh yang salah?  
Air mata yang mengalir, 
Sayap yang cantik, namun lemah?
Mawar merah merona, 
Mungkinkah aku menjadi bulbul yang merdeka?
Milikmulah segala pesona,
Sementara aku terlalu hina untuk menjadi pemujamu."

Siapakah gerangan sang mawar yang telah mencuri hati bulbul hina yang tak mampu terbang tinggi? 

Bulbul berbisik kepada angin yang bertiup sepoi-sepoi menerobos jeruji sangkar emasnya,
"Duhai angin yang berhembus,
Seandainya aku seorang tukang kebun,
Sudah pasti aku berkali-kali tertusuk duri mawar.
Tetapi, hanya sesekali aku dapat pergi ke taman,
Pun, tak tahu apakah sanggup terluka berkali-kali?"

Angin yang menerobos dan hilir-mudik dengan pakaiannya yang tak berwarna dan berbentuk, membalas bisikannya 

"Duhai bulbul yang manis,
Menggenggam tangkai mawar pasti akan terluka,
Tetapi jika mawarnya merah merona,
Maka darah yang mengucur tidaklah sia-sia."

Bulbul mengepak-ngepakkan sayapnya. Air matanya menetes. Karena sekarang ia tak bisa kemana-mana, tak bisa terbang lebih jauh daripada sangkar emas ini.

"Seandainya aku menginginkan sesuatu,
Maka sekarang ini aku hanya menginginkanmu,
Wahai Mawar."

Demikianlah bisik hati sang bulbul. Hatinya telah dipenuhi oleh kerinduan. Sekaligus kesadaran. 

"Tetapi, aku tahu diri,
Wahai Mawar.
Dapatkah aku menjadi kekasihmu?
Menjadi sahabatmu pun,
Apakah aku mampu?
Apakah dikau kiranya berkenan?
Ya, ya...
Aku baru bisa menjadi pengagummu,
Pengagum rahasiamu."

Pada suatu malam, dalam mimpinya, sang mawar akhirnya hadir sekilas di hadapan sang bulbul, melalui wanginya, dan senyumannya yang dilemparkan lewat bayang-bayangnya pada air danau yang jernih. 


Bagi sang bulbul, kerinduannya sedikit terobati, walau hanya sebentar saja dapat melihat sedikit sang mawar pujaan hati, walau hanya pantulannya pada air danau yang jernih.

"Duhai Mawar,
Betapa indah pantulanmu
Yang dapat kulihat
Dari permukaan air.
Tetapi hanya sekilas itu
Sesuatu terlempar dan jatuh
Ke dalam air.
Oh, oh, betapa sebak dada ini!
Betapa baru sepercik saja 
Membasahi keringnya kerinduan ini!"

Maka sang bulbul kembali, kembali pulang menyelinap dan terbangun di dalam sangkarnya. Dia menangis, menangis tersiksa oleh kerinduannya, dadanya terasa sesak, dan hatinya terasa pilu. Dia tahu, semua yang dia rasakan adalah rahasia. Siapa yang dapat mengerti? Tuannya. Tuannya mengerti. Tetapi, bisiknya lirih di dalam hati:

"Tuanku, 
Hamba hanya seekor bulbul,
Di sangkar ini, rasa sepi begitu menyiksa,
Kesendirian ini, begitu mendera
Tak dapat berbagi, tak dapat bersenandung
Kecuali kepadamu."

Sang bulbul tak dapat menceritakan rahasianya kepada burung merpati apalagi burung elang. Bahkan meskipun yang dia jumpai semuanya adalah kawanan angsa rupawan.


Maka, kata bulbul kepada tuannya, berkicau nyaring-nyaring dari balik sangkarnya,

"Duhai tuanku,
Bawalah, bawalah teman untukku...
Seorang saja sudah cukup,
Tetapi jika lebih,
Aku berterimakasih."

Akhirnya, tuannya merasa kasihan, mendengarnya, lalu membawa sangkar emas lain berisi bulbul. Mereka pun saling berkicau dan bersahut-sahutan, kadang sendu, kadang juga gembira. Masing-masing dari dalam sangkarnya. 

Misalnya, sang bulbul bersenandung kepada bulbul lain di hadapannya,

"Aku mengerti engkau bersikap rendah hati,
Wahai bulbul di ujung sangkar sana.
Kita sama-sama mempunyai kelemahan,
Entah pada sayap atau pun pada kelincahan,
Pada lagu yang kita senandungkan, 
Atau pun pada bulu-bulu kita yang rapuh.
Mungkin, besok atau lusa, tuan kita akan 
Membawa aku, atau membawamu pergi 
Dari sini. Tetapi, itu tidak penting.
Selama masih ada waktu, marilah
Kita berkicau dan saling bersahut-sahutan,
Bercerita tentang mawar, dan mawar-mawar,
Rahasia tentang sang mawar, dan mawar-mawar.
Selama engkau masih mendengar suara
Kicauanku, dan kau membalas sahutanku
Dengan merdu, aku ucapkan terimakasih.
Dan, apabila, bagimu, suara sahutanku
Tidaklah merdu, kumohon maafkan aku.
Ada kalanya, tuan kita membawaku pergi
Dari sini, untuk menghibur tamu-tamunya,
Di kala lain, tuan kita memilihmu 
Membawamu pergi dari entah untuk apa.
Tetapi, baiklah itu tidak penting.
Meskipun kita mungkin tidak harus 
Berjumpa lagi, atau akan berjumpa lagi,
Memanfaatkan sedikit waktu bersama 
Yang ada dalam sangkar masing-masing,
Aku telah merasa tidak pernah sendirian lagi.
Tidak pernah sendirian lagi."

Tuan mereka selalu mendengar senandung mereka. Betapa merdu terdengar paduan suara yang kadang-kadang dilantunkan ini. Betapa merdu sahut-menyahut ini. Tuan sang bulbul membawa lagi sebuah sangkar. Sebuah sangkar emas lagi.

"Duhai sahabat,
Bisikkanlah sekali lagi,
Ke dalam kalbuku,
Rahasia tentang mawar,
Mawar yang diam-diam
Kita kagumi.
Bisikkanlah sekali lagi,
Rahasiamu
Saat berjumpa dengannya.
Oh, betapa hanya sedikit
Yang mengerti
Saat engkau juga tidak ada di sini,
Kerinduanku padamu,
Adalah kerinduanku akan mawar
Yang kita selalu senandungkan
Bersama-sama."

Di tengah kabut, di antara mendung, ketika dunia berguling-guling terjatuh ke dalam arena yang hiruk pikuk, air mata, kebencian, dan jeritan tiada habisnya, aku duduk tersungkur. Seperti bulbul, aku hanya bersenandung diam-diam. Ternyata hanya bangsa bulbul yang dapat memahami bangsa bulbul... 

September ini kelabu, meskipun langit tidak abu-abu. Seperti selalunya, aku terlahir kembali...Tetapi sekarang baru menyadari betapa telah terseret begitu jauh, terus bergerak ke dalam kekosongan... Seperti bulbul. Aku bergerak, melangkah, merayap, dan mengharap, bahkan berhenti sejenak,  dari kerinduan kepada kerinduan. 


Pondok Gede, September, 8 2013.