A View From Passionisti

A View From Passionisti

Tuesday 25 March 2014

Di Depan Altar Leluhur

engkong...
bisikku di depan altar leluhur

eyang...
bisikku di depan altar leluhur

aku kangen
kangen
kangen!

engkong...
gendonglah aku seperti dulu
izinkan aku
melompat lagi ke dalam pangkuanmu
engkong abu muthar

eyang martiyah...
aku kangen tidur sama eyang...
ranjang dengan melati-melati itu
eyang...
biarkan aku kaupeluk...
tidur dalam pelukanmu.

aku capek.
aku lelah.
engkong,
eyang...

panggil aku
inten...inten...
sekali lagi...
panggil aku
inten...inten,
aku kangen panggilan itu

izin aku
bertemu dengan
 engkau berdua...

25-3-2014

Tuesday 11 March 2014

Puisi 17 September 2013

Kenangan Musim Gugur



Di "pondok" tempatku berteduh, ia menghadap danau luas nan jernih

yang dipenuhi teratai-teratai merah jambu.
Sebatang sungai mengalir di bagian belakang, juga jernih dengan 
batu-batu kali kemerahan yang indah..
Sering kujamu para musahibku dan mereka yang ingin menjadi murid
dari guru-guruku dengan hidangan yang dipetik langsung dari kebun
dan hutan yang merangkul kami, mengelilingi kami dengan pohon-
pohonnya yang rindang dan berbuah lebat.
Kami biasa duduk di teras belakang, menghadap sungai, atau di teras
depan, menghadap danau, sama-sama menghadap hamparan
taman bunga, mawar, melati, dahlia, kenanga, tulip juga krisan
dan beraneka bunga lainnya yang berwarna-warni rupawan.
Kami menghabiskan waktu dengan menikmati bercangkir-cangkir
teh, kopi, susu, atau air dari mata air tak jauh dari pondok,
bercengkerama, melepaskan penat lelah kami dari hirukpikuk
dunia. Seringkali sambil mengobrol kami bisa melompat
jauh sekali ke negeri-negeri yang asing dan antah-berantah.
Musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin,
juga musim kemarau dan musim hujan, kami lewati dengan
berbalas syair dan saling menatap jauh ke dalam batin.

Malam ini duduk di atas sebuah kursi goyang,
pikiranku tentu saja begitu jauh melayang,
setelah memetik sejambak bunga lavender ungu
untuk mengusir insomnia yang telah begitu mengganggu.
Teko-teko sudah siap dididihkan, dan begitu pula
kantong-kantong teh asli, dan kopi-kopi terbaik,
serta kue-kue yang kubeli dari pasar tradisional
yang dibuat oleh tangan rapuh para perempuan sederhana.
Cangkir-cangkir dan piring-piring duduk diam menanti,
sementara aku masih duduk di kursi goyang,
menanti kedatangan para musahib dan mereka
yang biasa bertandang, menanyakan kabar para begawan
yang hidup di puncak gunung bersalju,
berharap aku bercerita tentang pertemuan kami
setelah naik keretaapi melewati pegunungan yang sunyi.
Aku terus bergoyang-goyang, seperti anak dalam buaian,
Berharap tertidur dan bangkit dalam damai.

Saturday 1 March 2014

Puisi: Ratap Pilu Seorang Pelacur


Ratap Pilu Seorang Pelacur


Aku seorang pelacur, yang secara sadar memilih
Kehidupan sebagai seorang pelacur, dan di rumah bordil ini
Aku adalah primadona setiap pria yang datang membeli.
Aku tak lagi mengenal cinta, hanya sebelas menit,
Dan air mani dalam kondom berwarna-warni,
Sedikit fantasi tentang laki-laki yang pernah kucintai,
Agar pelangganku merasa puas atas pelayanan yang kuberi.

Aku seorang pelacur, yang menyembah memuja Ishtar sang dewi,
Demi wajah cantik, tubuh seksi, dan tak pernah kurang rejeki.
Aku seorang pelacur yang selalu belajar memuaskan lelaki: 
Yang belajar menyanyi senandung sedihku di dalam hati,
Yang belajar menari di atas ranjang untuk laki-laki asing,
Yang menyerahkan tubuhku dalam kepedihan yang sunyi,
Yang menghancurkan keakuanku dengan pedih tak terperi

Malam ini saja aku hampir bunuh diri
Ingin rasanya tubuhku berlari dari tempat aku menari
Sambil menjerit memaki diriku sendiri
“Tuhan, aku ingin pergi dari sini,
Aku tak ingin sebelas menit
Yang menyiksa begini, mohon jangan sekali lagi!!!”
Tapi akhirnya aku hanya menangis dan meratapi
Nasib yang telah kupilih,
Garis takdir yang belum sanggup, belum berani
Kutinggalkan. Setiap tarianku adalah tangis dalam sunyi,
Setiap gerakku adalah sayatan pisau pada jari jemariku sendiri,
Tak ada yang kusesali kecuali
Sepi yang tak bisa kuungkapkan dalam puisi ini.

Aku seorang pelacur yang tahu diri,
Kukatakan di depan cermin kepada diri sendiri:
Aku bahagia meski hati penuh gores luka yang perih.
Tak seorang pelangganku yang akan mengerti:
Kebahagiaan bagiku adalah sembilu.
Jika ada yang bisa mengeluarkanku dari sini,
Dari rumah bordil yang hiruk pikuk gemerlap ini,
Maka ia adalah cinta yang murni,
Cinta yang sejati,
Yang dapat membebaskan aku dari sebelas menit
Yang selalu menghancurkan jiwaku yang suci.