A View From Passionisti

A View From Passionisti

Tuesday 19 April 2011

Empat Gerbang, Empat Puluh Stasiun





Daun-daun yang rontok.
Angin yang berhembus.
Meniup melayangkan helai demi helai.
Tubuh dapat mengenalinya, udara,
Menghirupnya untuk bernafas.


Perjalananku dimulai dari sini,
Mengembara dari gerbang ke gerbang.
Dari gerbang pertama sampai gerbang terakhir,
Gerbang keempat.
Tiap-tiap gerbang berjarak sepuluh stasiun,
Sepuluh pilar menyangga setiap gapura.



Perjalananku dimulai dari sini.
Dari menjadi sehembus angin,
Aku bergerak kemana pun Dia yang meniupku,
Ke Barat atau ke Timur.
Terkadang aku melaju kencang,
Semakin kencang menjadi badai.
Terkadang aku bergerak sepoi-sepoi,
Semakin lemah gemulai hanya berdesir.



Di gerbang pertama,
Di gerbang ini aku tunduk.
Kepada Dia yang menghembuskanku.
Perjalananku masih terlalu panjang..
Tetapi, aku – dan juga engkau? – mungkin menjadi jemu
Sepuluh pilar ini,
Terkadang aku dan kau berjalan melambat,
Dari satu stasiun ke stasiun berikutnya.



Mungkin juga berhenti terlalu lama,
Menikmati secangkir kopi dan memikirkan,
Tentang layang-layang yang telah terbang
Entah ke cakrawala mana, tersangkut,
Entah di dahan pohon siapa...
Setelah Dia meniupku ke atas bukit,
Telah kudengar setiap Instruksi,
Telah kucatat, telah kubaca, dan telah pula
Dengan susah payah aku berusaha menjalaninya.



Ya. Di depan setiap gapura,
Kita dikirimkan Kata-kata sebagai Petunjuk.
Dan, di gapura pertama ini,
Taurat bergelora memancarkan cahaya
- Sebab perjalanan masih panjang,
Siapa gerangan yang hendak tersesat terlalu jauh?



Fajar menyingsing meninggalkan gelap,
Matahari semakin merangkak naik,
Bintang yang terang itu membara di langit,
Api yang menyala di puncak, menjalarkan
Juga kehangatan, memancarkan Cahaya
yang engkau cari.



Perjalananku berlanjut di sini.
Dari tiupan angin menjelma sebagai api.
Aku memberikan terang,
Juga hangat.
Aku menjadikan matang,
Juga hangus.
Terbakar.



Di gerbang kedua ini,
Di gerbang ini aku bergelora, bergairah,
Menyala, tercerahkan, sekaligus kepanasan.
Namun, perjalananku masih sangat panjang.
Takutkah aku dan kau akan panasnya yang membara,
Takutkah terbakar?
Takutkah gosong dan menjadi hangus?
Lenyap menjadi abu?
Terkadang hendak kembali,
Dan cemas melanjutkan perjalanan.
Betapa menyakitkannya! Betapa pedih dan perihnya!
Tapi, juga betapa sukacitanya!



Gubuk ini menjadi istana. Dan istana ini menjadi gubuk.
Saat kulepaskan lapis demi lapis jubah kemelekatanku,
Aku bernyanyi dan tenggelam dalam Musik-Mu,
Kidung merdu-Mu.
Di gapura kedua ini, Zabur mengalun seirama dengan-Mu,
Suara-Mu, keanggunan-Mu, keindahan-Mu,
Siapa gerangan yang hendak menari dan bernyanyi
Bersama denganku di jalan ini,
Menyusuri setiap stasiun ke gerbang berikutnya?
Perlahan demi perlahan, keraguanku juga memudar.



Begitu hangat mentari mengantar butir demi butir
Air kepada awan yang hendak
Mengubahnya menjadi hujan,
Dari mata air, laut atau sungai yang
Mengalir, kemudian hujan turun
Deras atau gerimis, menjadi banjir,
Danau, atau genangan air di atas genteng
Dan halaman, air yang dituangkan dari
Teko berbentuk bulat kepada gelas berbentuk persegi,
Kepada setiap bentuk ia mengikuti.
Semakin dekat kepada sumbernya, ia murni lagi jernih.


Perjalananku sampai juga di sini.
Dari api yang menyengat menjadi air yang mengalir.
Aku memberikan hidup, tapi juga
Mengambil nyawamu.
Aku bisa menjadi hangat, bisa menjadi sejuk.
Itu terserah padamu, sesuai kebutuhanmu.
Aku menyegarkan, juga menghanyutkan.
Aku membersihkan, juga menenggelamkan.
Perahumu dapat terombang-ambing,
Tapi juga karam.
Berselancar atau berenang,
Mengapung atau menyelami, apa yang kaupikirkan?




Di gerbang ketiga ini,
Aku murni dan memurnikan.
Jikalau tidak yakin untuk melanjutkan,
Mereka bilang diamlah di tepian,
Sebab kau takut akan tenggelam!
Gerbang Syariat dan Tarekat telah dilampaui,
Masihkah ada ruang untuk meragukan,
Di antara tetesan air mata Kekasihku?



Dari nafas Kekasihku sendiri,
Embun yang kuyup menjelma menjadi roti,
Dan goncangan yang lemah lembut,
Mengubah air kepada anggur,
Tidaklah mungkin aku tak mabuk oleh
Kabar Gembira, dari suara Kekasihku sendiri,
Maka, itulah janji manis Kekasihku dalam
Injil. Keraguan sepenuhnya akan sirna.
Selanjutnya apa pun yang kuminta tidak lagi
Berarti, kecuali Engkau sahaja.

Injil Lukas

Demikianlah setetes air menjadi
Segumpal tanah, dan dibungkus pula
Oleh daging, darah, juga kulit
Yang lentur lagi halus,
Untuk mengecap juga menyentuh,
Merasakan.



Perjalananku akhirnya tiba di sini.
Gerbang terakhir.
Dari air yang kadang tenang kadang berombak,
Aku menjelma sebagai tanah yang
Dapat menjadi gembur, juga tandus,
Sebagai pasir, liat, atau lempung subur.
Apabila terpelihara, akan terus makmur.
Menggantungkan sepenuhnya pada-Ku,
Angin yang menebar benih,
Api yang membakar kalori,
Dan air yang memenuhi dahaga,
Sepenuhnya telah musnah dalam diri-Ku.



Di Gerbang ini,
Berapa jauh stasiun telah dilalui,
Sampai tanah rela dipijak dan dapat memberi makan,
Gembala-gembala tahu harus kemana mencari rumput,
Petani tak sanggup berlepas dari bajak, tak pernah
Puas dari menatapnya.
Kita semua dengan jiwa dalam bentuk tubuh,
Akan dikubur di sini!
Tapi, tanamlah sebiji benih bunga pada kubur, dan siramlah,
Berilah cahaya matahari, dan biarkan udara terus
Berhembus, lalu, bunga pun akan tumbuh...
Seperti juga jiwa-Ku.
Bukankah
Di tanah yang gersang pun,
Tak ada yang benar-benar mati?


Maka, demi kemuliaan-Ku jualah,
Segala kembali dalam diri-Ku.
Mereka yang mengerti akan membaca-Ku,
Menyatakan Aku, mendeklarasikan Aku.
Nyatakanlah! Saksikanlah!
Demikian itulah Qur’an,
telah Ku-anugrahkan diri-Ku sendiri untuk
Mereka yang hendak meneruskan
Stasiun terakhir Hakikat kepada Makrifat.
Telah membacakah? Telah bersaksikah?
Di sini:
Kembali kepada Adam.


Kepada empat pemandu kuucapkan salam.
Empat gerbang, empat puluh stasiun.
Tiap-tiap gerbang dibangun dengan sepuluh pilar,
Sepuluh stasiun adanya.
Dan, di kota terakhir,
Telahkah menyambut Pembimbing Gerbang terakhir?
Ataukah langsung masuk menyelinap?
Kepadanya kuucapkan salam.
Dia yang akan kembali, kunantikan sejak gerbang pertama.
Bersama salam sejahtera untuk sepuluh pembimbing,
Di antara mereka.


Gayatri Wedotami merangkaikan
Dari Maqalat Haji Bektash Wali
Semoga beliau dan Ali Haydar diridhoi Allah.




20 April 2011

Tuesday 5 April 2011

Kontemplasi Bulan April

Apel



Apel yang merah. Ranum. Bagimu, apa yang kaupikirkan? 
Kata mereka yang pernah menikmati apel beracun, tertidur seribu tahun menanti Pangeran tampan datang mengecup, "Janganlah menggigitnya." Sebab pangeran tidak pernah muncul. Celaka bagimu.
Kata mereka yang menikmati anggur dari apel yang difermentasi seribu tahun, "Rasakanlah manisnya."
Mereka yang tidak pernah mencicipi tidak akan pernah mengerti.
Karena itu, apa gunanya kita berbicara berbusa-busa di sini hanya membicarakan, "Apakah rasanya apel yang ranum itu?"
Kau dan aku mencari-cari yang Tidak Ada, tapi apakah itu Tidak Ada? Kalau Tidak Ada tidaklah mungkin akan kita bicarakan di sini...Apel itu ada di meja makan, dalam keranjang buah. Memakannya langsung, mengulitinya ataupun memotongnya, ataukah memblendernya sebagai jus, atau mengupasnya membentuknya menjadi kue pai, ataukah menunggunya menjadi anggur (wine) itu terserah pada kau dan terserah pula padaku. 
Kau dan aku bicara tentang siapa yang paling benar dan siapa yang terbaik - tapi citarasa apel yang berbeda-beda dapatkah mengubahnya menjadi sebutir mangga?
Jika kau menatap langit dan menemukan pelangi, apakah ia Satu ataukah ia banyak karena berwarna-warni, dan jika aku berkata lain, apakah pelangi akan berubah menjadi awan?
Kau memandang apel karena warnanya, dan aku memandang apel karena rasanya; Tetapi, apel tidak pernah berubah menjadi mangga. Dan kau tahu mengapa. 
Kau boleh membenci apel dan aku pun boleh menyukai apel.
Jika kita berbicara tentang demokrasi dan hak-hak asasi, mungkinkah petani apel seharusnya memberikan apel secara gratis kepada kau dan aku, sebab kita kelaparan di sini, tidak memiliki sereceh pun uang untuk membeli, dan kehabisan tenaga untuk menanam apel?
Keringat yang bercucuran dari dahi petani apel, membuat kita harus bekerja keras juga untuk bisa membeli walau sebutir apel, kalau dia mau semua apel akan dimakannya sendirian, dan kalau aku mampu bisa kubeli pula seluruh kebun apelnya.
Mengapa kita berbicara sia-sia tentang apel yang sederhana. Merah (baiklah, di kebunmu mungkin warnanya hijau, tapi ia tetap apel dan bukan manggis). Ranum. Dan, hanya bagi yang pernah mencicipinya-lah yang tahu rasanya.
Sebanyak dan sejauh apapun kita berbicara tentang apel. Melihatnya dari Bulan ataupun dari dalam Bumi. Dalam terang maupun kegelapan. Jika ia berulat ia membusuk. Jika ia dimasak ia bisa menjadi makanan yang lezat maupun tidak. Apapun yang terjadi. Apapun yang kita katakan sambil melempari apel busuk kepada satu sama lain. Apel itu tetap apel.