A View From Passionisti

A View From Passionisti

Friday, 29 November 2013

Puisi November 2013


Deras Hujan November

Irena Gendelman


Deras hujan November
Mulai sering berkunjung
Menapaki rumput kering halaman rumahku.

Demikianlah deras hujan November
Saat aku bertemu dengan seekor peri
Dari hutan tempat tinggal
Orang-orang bunian dan makhluk-makhluk
Berjubah kabut di kaki gunung kelabu.

Aku berkata kepadanya,
Jangan memuji bunga-bunga di tamanku
Sahabat, bukankah di hutanmu sendiri
Bunga-bunga liar lebih menawan
Begitu pula seluruh jamur cendawannya?
Dia tersenyum dan mengirimkan
Daun-daun melalui angin yang bertiup.

Aku juga seekor peri.
Rumahku di atas pohon willow tua.
Dan deras hujan bulan November
Menahanku terbang
Dengan sayap-sayapku yang terluka.
Dia mengirimkan kelopak-kelopak bunga,
Tetesan embun pagi dan akar-akar ilalang,
Jangan menangis, bisiknya
Tersenyum dan mengirimkan semuanya
Melalui angin yang bertiup.
Untuk sayap-sayapmu, katanya.

Dan, begitulah deras hujan bulan November
Setiap aku duduk di atas rumah kayuku,
Angin bertiup sepoi-sepoi mengantarkan
Daun-daun segar berkilau ke pangkuanku.
Desah tangis peri berjubah kabut itu
Terdengar dari kejauhan lebih jelas
Daripada senandung rinai hujan
Yang menari-nari di atas halaman rumahku.
Lewat angin juga kukirimkan senandungku
Untuknya, “Jangan khawatir,
Teruslah mengepak-ngepakkan sayap indahmu.
Kita adalah peri, bukan bidadari...”

Saat sayap-sayapku telah mulai pulih,
Dan peri sahabatku di atas pohon oak tua
Dengan tatapan mata yang anggun
Berkata, mari kita bermain dalam
Deras hujan bulan November,
Dan biarkan angin menghempaskan
Daun-daun kering ke arus sungai
Aku diam tak menggubrisnya.
Katanya lagi, Sahabat, mari kita kenakan
Jubah kebesaran kita dari pelangi
Yang terbit sesudah hujan,
Tetapi aku tetap tak menggubrisnya.

Dan, daun-daun terus dikirimkan
Lewat angin yang bertiup setiap hari
Sering kali lewat kabut yang menjulur
Dari langit, yang menggeliat di antara
Kegelapan dan kemuraman bulan November.
Pesannya, berhati-hatilah pada
Para kurcaci yang akan mencuri
Masuk ke rumahmu, yang akan
Mengambil persediaan musim dinginmu.
Bisiknya, jagalah kedua sayapmu
Sebelum engkau benar-benar
Dapat terbang kembali.
Tetapi, di antara tangis langit November,
Aku juga menampung tangis
Yang mengalir deras darinya.

Maka ketika terang aku hanya bermain
Dengan kupu-kupu supaya riang
Dan ketika kelam aku hanya bermain
Dengan kunang-kunang supaya tentram.
Meski tak menunggu hembusan angin,
Tetap kutemukan daun-daun berkilau
Melayang masuk ke halaman rumahku,
Padanya kudengar kerisauan
Akan jubah kabut yang dikenakannya.
Dan dia mendengar senandung sendu
Tentang rayap-rayap yang menggerogoti
Rumah tuaku.
Bangkitlah perlahan-lahan, pintanya
Lenyapkan kekhawatiran, singkirkanlah
Semua rayap dan yakinlah
Batang-batang kayu akan kembali
Teguh dan kokoh.

Sementara hujan bulan November
Semakin sering mengunjungi hutan
Kediamanku.
Air matanya yang melahirkan hawa dingin
Yang mencekam menusuk tulang
Mengantarku terlelap jauh ke negeri-negeri
Antah berantah. Aku lalai
Mengunci pintu-pintu.
Ketika aku terbangun,
Maka kutemukan peri berjubah kabut
Berdiri menangis di seberang halaman rumahku.
Dia murka karena aku belum membersihkan
Rayap-rayap dan tertidur pulas melewatkan pelangi
Yang terbit pagi itu.

Tetapi, waktu itu,
Deras hujan November juga belum mereda.
Kukirimkan daun-daun layu lewat angin
Yang berhembus pelan,
Daun-daun layu yang basah oleh air mataku
Bukan oleh hujan November,
Atau air mata kepedihan dan kemurkaannya.
Aku ingat tentang petualangan
Yang kami arungi melampaui hutan-hutan
Dan gunung-gunung yang membatasi
Juga melampaui angin yang bertiup
Mengirimkan daun-daun jauh dari
Ranting-rantingnya.
Tangisku di antara hembusan angin,
Mengapa engkau memuji bunga-bunga
Di tamanku?
Mengapa engkau menjadi kurcaci
Yang mencuri persediaan musim dinginku?
Mengapa engkau melukai sendiri
Kedua sayap indahmu?
Betapa engkau telah melanggar
Ucapan-ucapanmu sendiri,
Dan menyelubunginya di hadapanku
Seakan-akan aku tidak ingat,
Dan seakan-akan akulah satu-satunya
Yang membuatmu mengirimkan
Daun-daun, sehingga habis
Seluruh kekuatanmu ajaibmu.

Dan, deras hujan November masih menari,
Ketika peri dari rumah pohon oak
Mengulurkan tangan,
Wahai peri!
Mari kita mengenakan jubah pelangi kita,
Sebab hujan sebentar lagi akan reda.
Sayap-sayapmu sudah kuat 
Seperti sedia kala.

Dan rayap-rayap telah perlahan-lahan
Kuusir dengan mantra-mantra
Yang dulu tak kuingat.
Aku menyambut tangannya
Dengan riang.
Meski pun demikian,
Ketika angin berhembus,
Dan daun-daun melayang juga ke rumahku,
Kudengar kepak sayap peri berjubah kabut
Lemah mengarungi padang belantara.
Aku sudah kuat, kataku.
Tetapi, kau,
Janganlah terlalu lama menderita.
Bisikku, di antara kecemasan
Kerinduan dan harapan
Wahai peri!
Deras hujan November
Akan semakin deras sampai Februari,
Tapi Juni akan kembali.
Musim akan selalu berganti!
Kita adalah peri, bukan bidadari.
Petualangan kita
Belum berakhir di sini.


29 November 2013.











Tuesday, 22 October 2013

Puisi Persaudaraan 18 Zulhijjah




Sebuah cawan dengan tiga kekuatan yang
Menampung ilmu yang utama,
Terseok-seok berjalan dengan beban yang sebesar itu.
Dia menemukan sebuah jalan, yang lurus terbentang,
Kemudian ketika hendak melanjutkan perjalanan,
Seberkas cahaya yang luarbiasa indah menawan
Memikat, mendorongnya untuk tetap berjalan,
hampir ia melepaskan keagungan yang dipikulnya,
Cahaya dan Jalan itu, seakan-akan menuangkan
diri mereka di hadapan cawan,
Dengan segenap daya yang terpancar dan terhampar,
mereka mendorongnya untuk sekali mencoba
untuk menanggung keagungan yang melebihi
kapasitasnya. Ia akhirnya tersenyum dan
berjalan tertatih-tatih sementara mereka
tetap menggandengnya. Sekali lagi, katanya,
untuk yang terakhir kalinya. Mereka tahu
sebab Jalan membutuhkan kekuatan untuk
menopang mereka yang masuk dan melangkah,
dan Cahaya hanya dikenali pada ilmu yang utama,
sebagai cawan ia berkata, "tebasan pedang yang suci
memancarkan memendarkan seluruh keelokanmu,"
dan ia berkata, "duhai siapa gerangan yang akan
merebahkan dirinya pada hamparanmu?
anggur apa yang nanti dituangkan ke dalamku?"
Terlalu sering merasa letih dan lelah untuk bersuara,
cawan hanya ingin dituangkan anggur terbaik
yang kudus dan tercurah langsung dari langit,
bukan anggur palsu yang hanya dapat memabukkan.
Tetapi entah bagaimana ia tahu semua ini hanya
sementara. Sebab takdir yang mempertemukan
hujan yang tertumpah dari cawan, cahaya yang
berkabut, dan jalan yang bersemak belukar,
menyatu dalam sungai yang berkelak-kelok
ke satu lautan samudra.

Pondok Gede -- 18 Zulhijjah -- 2013

Friday, 4 October 2013

Yang Mutlak dan Yang Tak Terbatas


Lingkaran kesatuan...
Yang tak terbatas di dalam yang mutlak,
dan
Yang mutlak bagi yang tak terbatas.

Jika...
Yang mutlak ingin menguasai yang tak terbatas,
Dan jika...

Yang tak terbatas ingin berlindung pada yang mutlak,
Maka...
Yang mutlak akhirnya tak dapat menjangkau yang tak terbatas,
Dan kemudian...
Yang tak terbatas menderita dalam belenggu yang mutlak.

Apabila...
Yang tak terbatas menemukan yang mutlak di dalam dirinya,
dan yang mutlak menerima yang tak terbatas di dalam dirinya...

Ya Haqq!  
Anggur pun tidak lagi membuat pening,
Walau bercawan-cawan banyaknya direguk,
Hanya rasa manis,
Rasa manis dan lelap
Dalam lingkaran yang utuh!


Wednesday, 2 October 2013

Awal Oktober



Seperti dirimu aku merindukan kesendirian, berjalan di antara pepohonan, dari taman ke taman, melangkah di atas daun-daun berguguran, menyongsong kehidupan abadi.

Aku mengerti tidak banyak orang yang memahami, aku ingin berhenti menuliskannya lagi, seperti saat kau berhenti mengungkapkannya dengan kata-kata tanpa suara.

Ketika kau mengatakan tentang pasar yang hiruk-pikuk di seberang, kutahan air mata di dalam dada, tak ingin kautahu bahwa aku tidak menemukan awan di langitnya lagi...warna langit pun tak lagi biru...hampa dan muram... Musim gugur telah menjelma menjadi musim dingin, hanya sejenak secercah sinar mentari yang memelukku hangat... 

Seperti dirimu aku ingin keluar dari keriuh-rendahan di dalam pasar, aku ingin menari-nari berputar dalam lingkaran sambil menyenandungkan pujian-pujian kepada mawar-mawar di taman rahasia, kemudian hanya ada aku dan kau...

Gentong besar di hatiku, begitu berat kupikul, meskipun segala isinya telah kukeluarkan, kutumpahkan ke lautan luas tempat aku jatuh tenggelam tak hendak kembali ke pesisir laut... Sekarang semuanya telah kosong, tetapi tetap membebani perjalananku jauh ke dasar dari yang terdalam... 

Seperti dirimu, aku hanya bisa menangisi keterlemparan jiwa ke dalam tubuh lemah tak berdaya, daging yang berkuasa atas ruh, dan pikiran yang dirasuki kicauan burung-burung, sedangkan aku telah meneguk bercawan-cawan anggur dan sering jatuh mabuk, tapi belum ada yang pernah menemukan aku terhanyut sejauh ini kecuali...

ENGKAU yang terhijabi oleh kau.
Ya. Kau. 



Wednesday, 25 September 2013

Syair-Syair September 2013 (2)



Semalam aku memanggilmu, ya memanggilmu duhai mawar,
Duhai mawar, duhai pirku yang senantiasa cemerlang!
Semalam aku mencari-cari oh barang setetes saja penawar,
Membisikkan namamu, oh pirku yang begitu gemilang!

Mengapa merindukanmu? Betapa dunia begitu memerlukan
Kehadiran merah meronamu yang indahkan dunia.
Mengapa mengharapkanmu? Betapa dunia begitu menantikan
Kembalinya kuntum segarmu yang damaikan dunia. 

Bahkan, walau setetes saja penawar, wahai pir yang mulia,
Kemana mesti kusembunyikan rasa rindu yang kutanggung?
Bahkan, walau hanya senyummu o mawar, ke mana perginya?
Hatiku tertusuk durimu, begitu dalam sakit yang kutanggung.

Air danau, air danau di seberang yang jernih tenang,
Kemana hilang cahaya rembulan yang terang-benderang?
Ingin kutuliskan sepucuk surat rindu bakal penenang,
Tetapi apa daya jiwa tercekat tak mampu mengarang.


Mawar elok, mawar rupawan, demikian dinyanyikan,
Tuan mulia, kekasih hati, satu dan tigabelas. Ya Shah
Akhirnya hanya batin yang mampu menyenandungkan,
Rindu ini dalam kesendirian, dalam keperihan ini. Ya Shah!




Syair-Syair September 2013


Bibi Miryam: 

Bunga-bunga kuning mekar di tepi lebuh raya,
Kuda-kuda mekanis melaju dalam kepadatan.
Desahku dalam hening merindukanmu jua,
Pancaranmu manis namun samar terhijabkan.




Bibi Zulaekha: 

wangi lavender membias lembut 
tenangkan sejenak penat di raga 
gejolak rasa bagaikan ombak 
tak henti memecah karang 
mengusik jiwa 

biarkan rasa ku terbang 
ke tempat yang ditujunya 
rasakan seteguk cawan kegilaan 
kegilaan yang mendamaikan.





Bibi Miryam:

Dalam diam aku melayang lenyap tidak terkesan bagai debu,
Sebab, cahaya senyumanmu telah membuatku jatuh berseru:
"Aku merindukanmu yang memantulkan bayang-bayang kelabu,
Tetapi, bahkan pantulanmu pada cermin jauh itu berkabut biru!"



Bibi Zulaekha:

Kenari kecil terpaku di pinggir jendela
menatap dunia nun jauh disana
mentari dengan hangat sinarnya
kerinduan yang memenuhi jiwa
kepada Bulbul sahabatnya,,
ia berkata
"Wahai Bulbul,, rasa ku tlah buatku merana
kerinduan yang membuncah dalam jiwa
sayatan yang buatku menderita
belenggu tak terlihat ... namun begitu terasa ..."
Bulbul menjawab dengan kicauan
"Wahai kawan,, tak hanya kau yang menyimpan
kerinduan ...
Tentang hujan,, dan awan
di negeri Kebijaksanaan
sungai yang airnya mengalir dalam cawan ...
melenakan namun tak memabukkan ....
Bersabarlah kawan,,
takkan lama lagi penantian...
dan cerita kerinduan ..
akan tersampaikan....."
 





Bibi Miryam:


Wahai kenari,
Kutitipkan kepada angin yang berhembus,
Senandung yang kusimpan sendiri...
Langit yang biru luas terhampar
Hati yang berada jauh melampaui 
Besok semoga angin melemparku jauh
Ke dalam pondok kayumu.

Monday, 16 September 2013

Sohbet Dua Darwis (2)



Darwis Pertama: 



"Kota itu membuatku cemburu,"
Kata si bulbul kepada langit
Yang dipandangnya dari balik jeruji
Sangkar yang pintunya tidak terkunci.
"Aku ingin mengirimkan rindu,
Lewat angin yang berhembus 
Sebab sayapku terlalu lemah 
Untuk terbang jauh ke sana."
Bulbul itu menahan air matanya
Di dalam batin, menahan pula
Desahannya di dalam hati,
Diam-diam bersenandung sendiri.
"Tuanku telah memisahkan kami,
Meskipun kutahu mereka juga 
Diam-diam bernyanyi,
Memendam rindu kepada Taman dan mawar,
Mencoba menjadi seekor bulbul
Biasa yang menawan 
Di tengah-tengah pasar
Dan istana raja."
Kemudian, berbaringlah si bulbul,
Dan diam dalam kesendiriannya.

Darwis Kedua:


Sang Putri berlari mengitari taman labirin 

mencari jalan keluar ke dunia bebas


menuju kekasih hatinya


sambil menangis lirih ia berkata,


"Duhai Kekasih... penuh sesak rasa 


tak mampu lagi kutahan


istanaku tak lagi terasa damai dan indah


hanya belenggu bagi jiwa yang mencinta"



Sang Putri terus berlari 


mengitari taman labirin tanpa tahu kapan ia kan temui sang kekasih hati