Kenangan Musim Gugur
Di "pondok" tempatku berteduh, ia menghadap danau luas nan jernih
yang dipenuhi teratai-teratai merah jambu.
Sebatang sungai mengalir di bagian belakang, juga jernih dengan
batu-batu kali kemerahan yang indah..
Sering kujamu para musahibku dan mereka yang ingin menjadi murid
dari guru-guruku dengan hidangan yang dipetik langsung dari kebun
dan hutan yang merangkul kami, mengelilingi kami dengan pohon-
pohonnya yang rindang dan berbuah lebat.
Kami biasa duduk di teras belakang, menghadap sungai, atau di teras
depan, menghadap danau, sama-sama menghadap hamparan
taman bunga, mawar, melati, dahlia, kenanga, tulip juga krisan
dan beraneka bunga lainnya yang berwarna-warni rupawan.
Kami menghabiskan waktu dengan menikmati bercangkir-cangkir
teh, kopi, susu, atau air dari mata air tak jauh dari pondok,
bercengkerama, melepaskan penat lelah kami dari hirukpikuk
dunia. Seringkali sambil mengobrol kami bisa melompat
jauh sekali ke negeri-negeri yang asing dan antah-berantah.
Musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin,
juga musim kemarau dan musim hujan, kami lewati dengan
berbalas syair dan saling menatap jauh ke dalam batin.
Malam ini duduk di atas sebuah kursi goyang,
pikiranku tentu saja begitu jauh melayang,
setelah memetik sejambak bunga lavender ungu
untuk mengusir insomnia yang telah begitu mengganggu.
Teko-teko sudah siap dididihkan, dan begitu pula
kantong-kantong teh asli, dan kopi-kopi terbaik,
serta kue-kue yang kubeli dari pasar tradisional
yang dibuat oleh tangan rapuh para perempuan sederhana.
Cangkir-cangkir dan piring-piring duduk diam menanti,
sementara aku masih duduk di kursi goyang,
menanti kedatangan para musahib dan mereka
yang biasa bertandang, menanyakan kabar para begawan
yang hidup di puncak gunung bersalju,
berharap aku bercerita tentang pertemuan kami
setelah naik keretaapi melewati pegunungan yang sunyi.
Aku terus bergoyang-goyang, seperti anak dalam buaian,
Berharap tertidur dan bangkit dalam damai.
A View From Passionisti

Home Sweet Home
Tuesday, 11 March 2014
Saturday, 1 March 2014
Puisi: Ratap Pilu Seorang Pelacur
Aku seorang pelacur, yang secara sadar memilih
Kehidupan sebagai seorang pelacur, dan di rumah
bordil ini
Aku adalah primadona setiap pria yang datang
membeli.
Aku tak lagi mengenal cinta, hanya sebelas
menit,
Dan air mani dalam kondom berwarna-warni,
Sedikit fantasi tentang laki-laki yang pernah
kucintai,
Agar pelangganku merasa puas atas pelayanan
yang kuberi.
Aku seorang pelacur, yang menyembah memuja Ishtar sang
dewi,
Demi wajah cantik, tubuh seksi, dan tak pernah kurang rejeki.
Aku seorang pelacur yang selalu belajar memuaskan lelaki:
Demi wajah cantik, tubuh seksi, dan tak pernah kurang rejeki.
Aku seorang pelacur yang selalu belajar memuaskan lelaki:
Yang belajar menyanyi senandung sedihku di
dalam hati,
Yang belajar menari di atas ranjang untuk
laki-laki asing,
Yang menyerahkan tubuhku dalam kepedihan yang
sunyi,
Yang menghancurkan keakuanku dengan pedih tak
terperi
Malam ini saja aku hampir bunuh diri
Ingin rasanya tubuhku berlari dari tempat aku
menari
Sambil menjerit memaki diriku sendiri
“Tuhan, aku ingin pergi dari sini,
Aku tak ingin sebelas menit
Yang menyiksa begini, mohon jangan sekali
lagi!!!”
Tapi akhirnya aku hanya menangis dan meratapi
Nasib yang telah kupilih,
Garis takdir yang belum sanggup, belum berani
Kutinggalkan. Setiap tarianku adalah tangis
dalam sunyi,
Setiap gerakku adalah sayatan pisau pada jari
jemariku sendiri,
Tak ada yang kusesali kecuali
Sepi yang tak bisa kuungkapkan dalam puisi ini.
Aku seorang pelacur yang tahu diri,
Kukatakan di depan cermin kepada diri sendiri:
Aku bahagia meski hati penuh gores luka yang
perih.
Tak seorang pelangganku yang akan mengerti:
Kebahagiaan bagiku adalah sembilu.
Jika ada yang bisa mengeluarkanku dari sini,
Dari rumah bordil yang hiruk pikuk gemerlap
ini,
Maka ia adalah cinta yang murni,
Cinta yang sejati,
Yang dapat membebaskan aku dari sebelas menit
Yang selalu menghancurkan jiwaku yang suci.
Saturday, 21 December 2013
Puisi Desember 2013 (Natal)
Surat
Untuk Kekasihku di Biara di Atas Bukit
Untuk
kekasihku yang
Memilih
melayani Tuhan
Di
biara indah itu…
Setiap
malam aku terkenang dirimu
Aku
teringat duduk di tepi jendela
Menjelang
Natal hanya termangu
Menanti
salju turun di Jakarta .
Aku
teringat akan air yang juga membeku
Air
yang mengalir dari mata
Yang
jatuh menggenang di hatiku.
Aku
ingat memudarnya titik cahaya
Setelah
kutinggalkan gereja tua
Tempat
kita pernah menumpahkan rindu.
Setiap
menjelang Natal
Sebagian
saudara-saudaraku
Melarangku
mengucapkan Selamat Natal
Kepadamu.
Aku
tak peduli, Sayangku.
Setiap
menjelang Natal
Aku
selalu merindukanmu
Mengenang
setiap pesta perjamuan Natal
Di biaramu.
Aku menunggu salju turun
Walau harus seribu tahun,
Aku selalu menyimpan cintamu
Jauh di dalam lubuk hatiku.
Mereka mungkin belum tahu
Setiap cerita yang pernah
kusampaikan
Kepadamu.
Berjam-jam kita duduk bersatu
Bicara tentang kehidupan dan kematian
Di biaramu.
Bicara tentang kehidupan dan kematian
Di biaramu.
Aku seorang darwis dari
tarekat
Asing yang tak pernah dikenal.
Aku mengembara mencari berkat
Seperti kehidupan yang kaukenal.
Seperti kehidupan yang kaukenal.
Kemurnian, ketaatan,
kemiskinan.
Aku juga memohon mengharapkan
Kiranya para mursyid agung
berkenan
Membimbing kami dalam
perjalanan.
Khidir, Ilyas, Isa, dan
Al-Mahdi
Semoga kami diundang ke dalam
komuni
Empat pir yang agung dan
suci,
Setiap detik, setiap menit,
setiap hari.
Setiap tarikan dan hembusan
nafas kami.
Untuk
kekasihku yang
Memilih
melayani Tuhan
Di
biara indah itu…
Isa al-Masih, Yesus Kristus
terkasih.
Tak peduli bagaimana baginda
dipanggil.
Kekasihku,
Kita berdua sama-sama
mencintainya.
Kita berdua sama-sama
mengetahuinya,
Mengetahui hari Natal bisa dirayakan
Kapan saja.
Mengetahui kau mencintainya
Dengan duduk bersimpuh dan
memujanya,
Dan aku pun mencintainya
Dengan duduk memohon wasilahnya.
Isa al-Masih, Yesus Kristus
terkasih,
Tak peduli bagaimana baginda
dipanggil.
Kekasihku,
Kita berdua sama-sama
mencintai ibunya.
Ibunya yang suci yang
dikandung tanpa noda.
Ibunya yang agung yang
dipelihara dari dosa.
Maryam, Maria,
Tak peduli bagaimana
memanggilnya.
Kita berdua sama-sama memohon
didoakan
Meski dengan sepasang tangan
yang tak sama,
Meski dengan cerita kelahiran
yang tak sama,
Kita berdua sama-sama
memujinya luarbiasa.
Maria, oh Maria,
Ibumu dan ibuku juga. Ibu
kita berdua.
Kekasihku,
Mereka melarangku mengucapkan
Salam kepada ibu kita, kepada
putranya
Pada hari yang diperingati
Untuk mengenang hari ibu kita
Melahirkan putranya dengan
sepenuh daya?
Tidak, tidak, jangan cemas
kekasihku.
Aku akan mengucapkan
Selamat Natal kepadamu, untuk
ibu kita.
Untuk putranya yang telah
membimbingku
Pada hari-hariku yang sunyi
sepi
Di ibukota negerimu.
Maria oh Maria,
Ibu kita, di dalam kitab suci
yang kuimani
Dia melahirkan putranya
dengan airmata penderitaan,
Hanya mereka yang tidak
pernah mengerti
Kesakitan dan penderitaan
seorang ibu yang melahirkan,
Yang melarangku mengucapkan
salam untuk ibu kita,
Untuk putranya, yang
bercahaya sepanjang masa.
Untuk
kekasihku yang
Memilih
melayani Tuhan
Di
biara indah itu…
Setiap
malam aku terkenang dirimu
Aku
teringat duduk di tepi jendela
Menjelang
Natal hanya termangu
Menanti
salju turun di Jakarta .
Aku
teringat akan air yang juga membeku
Air
yang mengalir dari mata
Yang
jatuh menggenang di hatiku.
Aku
ingat memudarnya titik cahaya
Setelah
kutinggalkan gereja tua
Tempat
kita pernah menumpahkan rindu.
Tahukah
engkau, Sayangku
Sering sekali aku berbisik di
hati,
“Santo Petrus, Santo Petrus
Kapan aku diundang ke rumahmu
lagi?
Seperti waktu-waktu itu di
kotamu,
Menangis meratapi kegilaan
zaman,
Meratapi para pencinta Yesus
Yang tak pernah berhenti
berkelahi,
Rindu aku untuk bersimpuh
memohon wasilah
Di bangku kayu rumahmu.
Santo Petrus, Santo Petrus,
Aku juga merindukan putra
dari putrimu
Mengharapkan bimbingannya,
Dalam setiap langkahku.”
Berjam-jam kita duduk bersatu
dalam kereta,
Menempuh perjalanan dari kota ke kota ,
Dari gereja ke gereja, dari
biara ke biara,
Kita berbicara tentang cinta.
Tentang cinta.
Sebab aku mencintai ibu kita,
Sebab aku mencintai putranya,
Sebab aku mencintaimu,
Dan engkau pun mencintaiku.
Kuucapkan,
“Selamat Natal!”
Kapan pun. Di mana pun.
Mari kita berpesta di
rumah-rumah
Mereka yang menderita,
Berbagi cinta kasih yang
pernah kita rasakan
Kepada mereka.
Kekasihku,
Betapa anehnya
Semakin kita membagi cinta
kita,
22 Desember 2013
Thursday, 12 December 2013
Dari Kesatria Cahaya
"Dua Patung dan Seekor Burung Pada Kepala Salah Satunya"
~ dijepret oleh Chen Chen pada Musim Dingin, di Roma 2012 ~
"Sehelai Daun Kering Di Atas Salju"
~ dijepret oleh Chen Chen pada Musim Dingin, di Roma 2012 ~
Tuesday, 10 December 2013
ADA
Dalam kenanganku,
sahabat kecilku yang sekarang tak lagi utuh kuingat.
yang sekarang tak lagi menarik perhatianku.
yang tak lagi kubenci.
cerita dan sekarang tak pernah lagi kudengar kabar mereka.
tetapi kini tak akan pernah melayaniku lagi.
tempat dulu aku tinggal yang sekarang tak lagi akrab.
dulu yang sekarang tak mungkin kudiami lagi.
Di tepi pantainya adikku biasa memungut kerang-kerang,
yang sekarang di sana
semuanya telah hilang tiada.
dan meskipun kembali ke sana , tak lagi ia menggigit sepatuku.
Seperti pakaian, aku tak lagi mengenakan sepatu yang sama,
Tidak selama dua puluh tahun dengan ukuran yang itu-itu
saja.
Apakah engkau masih bertanya tentang sampai kapan
Kita akan bertemu dan bilakah gerangan kita akan berpisah?
Waktu, hari dan jam telah menjauhkan aku dari
Menikmati saat ini.
Sewaktu kujejaki Italia, aku menikmati semuanya
tanpa memikirkan tanggal persis kepulanganku.
Aku tahu aku akan berpisah dengan orang-orang
dan mungkin tak akan pernah kembali menyusuri
jalan-jalan yang sama.
bukanlah mereka bunga-bunga yang sama.
lagi bukanlah yang sama sebab mereka telah tersapu
hilang oleh angin dan tertelan salju.
yang jika pun aku kembali bukanlah penyanyi yang sama.
yang meski kelak bertemu lagi bukanlah tatapan yang sama.
tulangku, selimut yang membungkus tubuhku,
dan jendela lebar menatap separuh kota Roma purba,
yang merupakan pengalaman yang telah berakhir bagiku.
Dan tentu saja,
Coklat hadiah dari Jan, secangkir cappuccino traktiran A.J.,
Payung pemberian Avner, pizza Mesir dari Saba ,
Bonus makanan dari Fida, obat-obatan dari David,
Pelajaran bahasa dari Muhammad, jaket tebal
pinjaman Fiodor atau cerita dalam bahasa yang
asing bagiku dari Thornike. Semua itu kutahu,
saat itu juga, akan menjadi kenangan.
Tetapi, kunikmati, ya kunikmati.
Sebab itu, apakah mengherankan
yang tak dapat mengisinya lagi.
kemudian Tuhan mengambilnya dariku.
tak lagi menggairahkan untuk kujaring.
tetapi sekarang tak lagi membuatku takjub.
Tidak mengherankan meskipun pintu-pintu semuanya
kubuka lebar, meskipun jendela-jendelanya tidak kututup,
meskipun kuhirup dari dalam kediamanku sendiri
udara musim hujan yang segar…
Tetapi aku mengenal mana yang kekal dan mana
yang hanya sementara waktu saja.
Aku tak bisa berpura-pura untuk mengatakan
bahwa petualangan-petualangan yang dulu hendak kuulang
kembali.
Aku tak bisa menipu diriku lagi untuk menyatakan
aku masih pendekar yang tangguh pada pertempuran itu,
pertempuran-pertempuran yang dulu itu.
Dan ada musuhku yang berbalik menjadi sekutuku.
Ada seseorang yang pernah mengatakan padaku
Dia tidak akan pernah meninggalkan aku, atau
melupakan aku. Tetapi akhirnya dia meninggalkan aku,
dan mengabaikan aku.
Tetapi, ada seseorang yang pernah mengatakan
Dia tak ingin mengingatku lagi, tetapi dia kembali
dan tersenyum memelukku hangat di dalam hatinya.
Demikianlah mereka - yang berubah itu - guru-guruku
mengajariku. Mendidikku.
Ada seseorang yang pernah mengatakan padaku
Dia tidak akan pernah meninggalkan aku, atau
melupakan aku. Tetapi akhirnya dia meninggalkan aku,
dan mengabaikan aku.
Tetapi, ada seseorang yang pernah mengatakan
Dia tak ingin mengingatku lagi, tetapi dia kembali
dan tersenyum memelukku hangat di dalam hatinya.
Demikianlah mereka - yang berubah itu - guru-guruku
mengajariku. Mendidikku.
Tetapi cukuplah aku berenang mengikuti arus
Meskipun aku berusaha untuk tidak hanyut dan tenggelam.
Aku hanya mengikuti air yang mengalir,
meskipun aku tak ingin terseret meninggalkan
jalan yang telah menemukan aku,
dan mimpi besarku sendiri.
Saat menulis puisi ini, sekarang ini,
Aku telah bersikap lebih berani,
Tentu saja sedikit lebih kuat, bangkit dengan ketetapan
hati.
Tetapi aku tidak tahu bagaimana nanti.
Aku tidak selalu kuat dan pemberani,
Seperti ada yang pernah datang dan ada yang akhirnya pergi.
Aku, dan setiap orang pada hakikatnya,
Menjalani hidupnya sendiri-sendiri.
Orang-orang mungkin terlahir kembar,
ada jantung atau kepala yang berbagi satu tubuh,
juga ada yang dikumpulkan dalam satu lubang liang lahat.
Tetapi jiwa mereka tidak pernah berbagi:
Satu jiwa untuk dua tubuh.
Begitulah keberadaan. Begitulah ada.
Begitulah Sang Ada .
Dia mengajariku tentang yang datang dan pergi,
yang hidup dan yang mati, yang lahir dan yang terkandung,
yang sekarang dan yang lalu,
tapi merahasiakan yang akan datang.
Dia ingin aku menikmati saat ini.
Dia ingin aku selalu bahagia,
dan terus mengajari aku untuk
bertanya pada diriku sendiri apakah aku bahagia hari ini?
karena itu Dia memperkenalkan aku pada penderitaan,
perpisahan, dan rasa sakit demi rasa sakit.
Penderitaan bagaimana pun adalah guruku,
dan telah membawaku sampai ke sini.
Dan aku masih bertahan.
Penderitaan bagaimana pun adalah guruku,
dan telah membawaku sampai ke sini.
Dan aku masih bertahan.
Dia ingin aku menikmati saat ini,
dan berhenti jika aku tidak sanggup lagi menanggung beban.
Dia sendiri yang mengatakan padaku,
“Aku tidak memikulkan ke bahumu melebihi kapasitasmu.”
Dan, aku harus tahu diri.
Tahu diri itu…bukankah
Jalan menuju Dia?
Saturday, 7 December 2013
Puisi 5, 6, 7 Desember 2013
MERDEKA
Aku terbangun dan menemukan
Diriku masih hanya menginginkan
Duduk bersandar pada dahan pohon itu
Tersenyum, bersedih dan mendesah
Tersenyum, bersedih dan mendesah
Dalam keheningan.
Aku terbangun dan menemukan
Kesepian saat bersandar pada dahan pohon itu
Tanpa sahabat yang biasa menemaniku.
Walaupun kami terbiasa duduk berjam-jam
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
Hanya sesekali saling menatap melemparkan
Air mata yang tertahan di ujung kelopak,
Ketika musim gugur kemarin.
Aku terbangun dan menemukan
Perpisahan tidak lagi menyakitkan
Tetapi kesendirian lebih tidak memungkinkan.
Aku harus bercakap-cakap,
Minum, makan, mabuk, berpesta pora
Seperti orang-orang di pasar lainnya.
Tidak untuk melupakan, karena
Itu tidak mungkin. Tetapi untuk pergi
Melompat dari satu kesenangan
Ke kesenangan yang lain.
Aku terbangun dan menemukan
Kelelahan melahirkan kerinduan
Kembali bersandar pada dahan pohon itu.
Kesepian membuat airmataku mengalir,
Tetapi keberanian untuk bertahan
Mengalahkan semua rasa takutku
Mengalahkan semua rasa takutku
Pada kesunyian semacam ini.
Aku terbangun dan menemukan
Mereka yang belum mengerti
Akan terus mencoba untuk menggenggam tanganku
Di dalam keramaian untuk tertawa
Dan menghabiskan waktu secara sederhana,
Tetapi berlebih-lebihan.
Aku terbangun dan menemukan
Diriku membiarkan mereka menarik tanganku
Masuk ke dalam keramaian untuk menari
Berdansa dan menikmati kehidupan
Meskipun jiwaku terbang melayang jauh
Jauh ke dahan pohon itu, untuk bersandar.
Menangis keletihan.
Aku terbangun dan menemukan
Diriku berusaha tidak terhanyut
Meskipun berenang mengikut arus utama,
Berusaha tidak tenggelam
Melainkan terus menyelam diam-diam.
Menelan rasa pahit dan manis sekaligus,
Dan bersorak penuh kemenangan.
Aku terbangun dan menemukan
Musim dingin yang panjang telah menjelma
Sebelum aku sempat menyadari
Salju akan merintik perlahan-lahan
Menyelimuti seluruh daratan dan perairan.
Dan dahan pohon itu masih kokoh
Menungguku untuk bersandar.
Aku terbangun dan menemukan
Tubuhku telah kembali bersandar
Pada dahan pohon itu.
Kering dan tanpa daun-daun.
Senyap dan tanpa siapapun
Hanya ditemani oleh desir angin,
Kabut, dan hawa dingin menusuk tulang.
Aku terlelap pada dahan itu,
Dan bangkit dalam keramaian.
Tetapi jiwaku. Rohku. Hatiku.
Masih pada dahan pohon itu.
Aku merdeka.
Meskipun mereka mengira
Aku terbelenggu.
~ 7 Desember 2013 ~
KEBAHAGIAAN
Kukenakan jubah beludruku,
Kubasuh pula airmataku.
Telah kuhapus ingatanku
Kutinggalkan pondokku.
Kulempar kashkul usangku
Jauh-jauh ke sungai itu.
Meski tak dapat melupakanmu,
Meski masih merindukanmu,
Hatiku telah membeku,
Dingin bagai salju.
Aku pergi ke pasar seru itu,
Kujual diriku dengan hati pilu.
Tak seorang pun mendengarku
Mendengar sedu sedanku
Peduli pada jerit tangisku.
Kutawarkan tawa candaku,
Kuobral murah senyumanku,
Kerianganku telah menjadi semu
Sejak kutinggalkan laut itu.
Pondokku yang kelabu.
Kaskhul usangku yang berdebu.
Jiwaku terbang bersama kabut
Yang menjulur dari langit biru.
Aku yang dulu telah terbujur kaku
Terkubur jauh di bumi yang kelu
Tak mampu ia menghiburku.
Kebahagiaan adalah sembilu,
Diasah, mengiris, setiap waktu.
Perih, pedihnya tak seorang tahu.
Sukacita hanya saat denganmu,
Mengarungi laut dengan perahu
Menyelam ke dasar menemukanmu
Hanyut oleh arus ombakmu.
Tenggelam di dalammu.
Tetapi, tidak tidak itu masa lalu.
Sekarang wajahku berselubung
Kain cadar dari sutra ungu.
Aku akan mengejar daratan itu
Bersandar berlabuh
Entah untuk berapa lama kumampu.
Kubasuh pula airmataku.
Telah kuhapus ingatanku
Kutinggalkan pondokku.
Kulempar kashkul usangku
Jauh-jauh ke sungai itu.
Meski tak dapat melupakanmu,
Meski masih merindukanmu,
Hatiku telah membeku,
Dingin bagai salju.
Aku pergi ke pasar seru itu,
Kujual diriku dengan hati pilu.
Tak seorang pun mendengarku
Mendengar sedu sedanku
Peduli pada jerit tangisku.
Kutawarkan tawa candaku,
Kuobral murah senyumanku,
Kerianganku telah menjadi semu
Sejak kutinggalkan laut itu.
Pondokku yang kelabu.
Kaskhul usangku yang berdebu.
Jiwaku terbang bersama kabut
Yang menjulur dari langit biru.
Aku yang dulu telah terbujur kaku
Terkubur jauh di bumi yang kelu
Tak mampu ia menghiburku.
Kebahagiaan adalah sembilu,
Diasah, mengiris, setiap waktu.
Perih, pedihnya tak seorang tahu.
Sukacita hanya saat denganmu,
Mengarungi laut dengan perahu
Menyelam ke dasar menemukanmu
Hanyut oleh arus ombakmu.
Tenggelam di dalammu.
Tetapi, tidak tidak itu masa lalu.
Sekarang wajahku berselubung
Kain cadar dari sutra ungu.
Aku akan mengejar daratan itu
Bersandar berlabuh
Entah untuk berapa lama kumampu.
~ 6 Desember 2013 ~
SAZ
Baglamaku,
Sazku,
Hiburlah aku!
Malam ini,
Aku menyerah!
Aku lelah!
Tempat bersandar
Di belantara ini
Telah kutinggalkan,
Mainkan sedikit
Senandung
Untuk menemaniku.
Sazku,
Hiburlah aku!
Malam ini,
Aku menyerah!
Aku lelah!
Tempat bersandar
Di belantara ini
Telah kutinggalkan,
Mainkan sedikit
Senandung
Untuk menemaniku.
~ 6 Desember 2013 ~
DI PUNCAK GUNUNG SALJU
Sesungguhnya jika boleh memilih
Aku tidak ingin hidup di dunia kalian lagi
Aku lelah untuk berdusta dan mengenakan topeng ini
Aku terlalu letih untuk menangis di dalam hati
Aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskan
Aku menyerah bertempur, memilih untuk mengalah
Airmataku telah begitu banyak terbuang sia-sia
Waktuku telah terhisap seakan-akan tersisa sedikit saja
Aku diam-diam selalu pulang ke duniaku sendiri
Kutemukan kebahagiaan dalam sunyi sepi
Kutemukan kemerdekaan yang tak pernah kumiliki
Sering aku hanya ingin terlelap lama sekali
Kadang aku tak ingin kembali ke hiruk pikuk itu
Tetapi rasa kasih-sayang menampar hatiku
Kalian tertawa dan bersuka cita itu juga tugasku
Menutupi kesedihan ini biarlah jadi bebanku
Kerinduanku siapa yang dapat memahami
Jika harus semakin menjauh sementara ini
Apa dayaku untuk melawan takdir
Kutahu sejauh-jauhnya aku pergi, selalu didekati
Rasa sakitnya telah tergantikan
Oleh kekosongan dan kehampaan
Di puncak gunung salju dingin mencekam
Hatiku mengering, membiarkan angin meniupnya
Kemana pun ia harus pergi.
Aku tidak ingin hidup di dunia kalian lagi
Aku lelah untuk berdusta dan mengenakan topeng ini
Aku terlalu letih untuk menangis di dalam hati
Aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskan
Aku menyerah bertempur, memilih untuk mengalah
Airmataku telah begitu banyak terbuang sia-sia
Waktuku telah terhisap seakan-akan tersisa sedikit saja
Aku diam-diam selalu pulang ke duniaku sendiri
Kutemukan kebahagiaan dalam sunyi sepi
Kutemukan kemerdekaan yang tak pernah kumiliki
Sering aku hanya ingin terlelap lama sekali
Kadang aku tak ingin kembali ke hiruk pikuk itu
Tetapi rasa kasih-sayang menampar hatiku
Kalian tertawa dan bersuka cita itu juga tugasku
Menutupi kesedihan ini biarlah jadi bebanku
Kerinduanku siapa yang dapat memahami
Jika harus semakin menjauh sementara ini
Apa dayaku untuk melawan takdir
Kutahu sejauh-jauhnya aku pergi, selalu didekati
Rasa sakitnya telah tergantikan
Oleh kekosongan dan kehampaan
Di puncak gunung salju dingin mencekam
Hatiku mengering, membiarkan angin meniupnya
Kemana pun ia harus pergi.
Sunday, 1 December 2013
Puisi Desember 2013
SAHABAT
Mesti kusesali dan mesti
pula kutangisi
Jika sahabat tempat kubersandar pergi
Jika sahabat tempat kubersandar pergi
Sebelum ajal menjemput pulang
abadi
Kemana harus kucari jiwa
unik yang sehati?
Mungkin ini salahku
membiarkanmu menari
Dan aku melepaskanmu pergi
seorang diri
Melangkah menembus
kegelapan nan sunyi
Masuk jauh ke dalam tempat
tersembunyi
Mungkin ini salahku
meninggalkanmu di sini
Di tempat di mana
laba-laba menjaring sepi
Dan engkau terlanjur
terperangkap sendiri
Tak peduli jerit tangismu memanggil
diri ini.
Konon kekasih hati bisa
datang dan pergi
Akan tetapi tidak seorang
sahabat sejati
Dan kuharapkan juga tidak
sampai terjadi
Hingga kau berlari menjauh
enggan kembali
Kurasa engkau dapat
mendengar batin ini
Memanggil-manggil namamu
nyaring sekali
Walau angin pun hanya
berbisik menyanyi
Di hati engkau tetap
sahabat yang kunanti
Aku tahu engkau tahu aku
masih merindukan
Hari-hari kita berkumpul
dalam perjamuan
Menangis dan mencoba
tertawa dalam kesedihan
Sambil menenggak
anggur-anggur dalam cawan
Aku tahu engkau tahu kita
masih merindukan
Duduk, berdiri atau menari
dalam pertemuan
Mabuk dan sadar
bersama-sama tanpa kepalsuan
Bergandengan saling
menguatkan dalam lingkaran
Bukankah aku telah bangkit
dan mengirimkan
Lewat air mata yang
mengalir sebuah permohonan
Maaf yang kurangkai dari
rasa kehilangan,
Berharap kau bangkit
dengan segenap kekuatan.
Lingkaran menjadi sepi tanpamu
Perjamuan menjadi sunyi
tanpamu
Anggur-anggur tak lagi
memabukkan
Cahaya rembulan tak lagi
menyadarkan.
Badai telah berlalu.
Pantai telah surut.
Kami duduk menunggu.
Berharap engkau turut.
Tersenyumlah, berjalanlah
walau kita semua
Pernah sama-sama terjatuh
dan terlupa
Tapi matahari masih
bercahaya sempurna
Dan jika pagi bisa
kuhadiahkan kepadamu
Maka pagi dengan pelangi
beraneka warna,
Bidadari yang menyambut
dengan sukacita
Semuanya akan kuhadiahkan
untukmu.
Anggaplah ini sebagai
permohonan terakhir,
Sebab tak pernah kuminta
kapanku terlahir
Dan tak pernah kutahu
sedikitpun akan takdir
Mungkin lusa aku tak akan
pernah lagi hadir
Di dalam perjamuan ini
Menemuimu dalam lingkaran lagi.
1 Desember 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)