A View From Passionisti

A View From Passionisti

Saturday, 20 August 2011

Dari Pintu Gerbang Ke Seberang (Puisi)



Hidup yang begitu singkat ini! Mengapa engkau sia-siakan Chen Chen?




Pada waktu aku berjalan menuju Taman, pada waktu aku hendak mencapai Bunga, sang guru memberitahu akan perjalanan yang berat dan menyakitkan yang mesti kutempuh. Bukan engkau yang memilih berjalan menuju Taman, semua orang yang pergi mereka itu pergi bukan karena mereka telah memilihnya sendiri. Aku tidak bisa mengajakmu, jika engkau tidak mau mendengar dan tidakmau mengerti, dan jika engkau tidak menemukan sendiri rahasia ini. Tuhan, Engkaulah yang mengajakku, Tuhanl, Engkauah yang mengajak sang guru, Tuhan, Engkau juga yang mengajakmu. Jika kita memasang telinga seperti menara tinggi yang memancarkan sinyal-sinyal, suara Langit akan terdengar jelas sampai ke lubuk terdalam hati.


Aku telah menyia-nyiakan waktu untuk mengenal diriku sendiri dengan menulis namaku, menulis sejarah hidupku, menulis cita-citaku, menulis minat dan hobiku, tetapi kutahu itu bukan aku. Aku lupa betapa aku hakiki dan sejati, dan aku tidak ada, aku lupa mengenal-Mu, aku lalai mengetahui siapa gerangan Engkau, aku abai mengingat-Mu siapa!
Bodoh! Aku lupa, aku tak peduli: Hanya ada Engkau. Yang ada cuma Engkau.
Tuhan. Tidak ada aku atau aku. Yang ada hanya diri-Mu... 
Aku telah menyia-nyiakan hidup yang singkat hanya untuk beribadah memohon surga, memohon perlindungan dari neraka, memohon rezeki dengan kemakmuran dan segala kesejahteraan di alam ini, dan memohon keselamatan di dalam dunia sementara ini, tetapi aku selalu lupa memohon agar aku dapat bertemu dengan-Mu, bersama dengan-Mu selalu, mendapat cinta-Mu selalu, memenuhi semua kehendak-Mu selalu, menjadi hamba-Mu seumur hidupku di dunia mana pun Engkau lemparkan aku, dan betapa rindu aku kembali bersatu hanya dengan-Mu.

Pada waktu aku berjalan menuju Taman, pada waktu aku hendak mencapai Bunga, sang guru mengingatkan tentang Pintu Gerbang tempat aku akan bersimpuh mencium dan mengetuk hatiku, membukanya untuk mendengar suara-Mu. Tidak mungkin aku lewat jalan belakang, tidak mungkin lompat begitu saja ke dalam Taman. Tidak mungkin aku menyusup dari dalam tanah. Tetapi, berapa banyak yang mengerti tentang jalan yang utama ini, Pintu Gerbang ini, terkadang aku hendak menangis dan meratapi dosa dan keterlambatanku sampai di sini. Terkadang hendak menyesali saudara-saudaraku yang tidak mau tahu tentang keindahan di sini. Pintu Gerbang ini saja sudah begitu indah! Bagaimana dengan sang Taman sendiri tempat aku akan berjumpa dengan-Mu?

Aku telah mengembara tidak karuan di atas padang rumput, gunung-ganang dan samudra luas tak tahu mencari jalan ke rumah-Mu, Taman, tak tahu di mana dapat kutemukan kunci dari rahasia ini. Mesjid, gereja, kuil, batu-batu arca, hanya saksi bisu. Kutahu, aku belum merdeka. Tetapi, para guru, juga sang guru, mengingatkan aku kembali tentang kemerdekaan sejati. Bersama dengan-Mu, betapa belenggu Engkau, Yang Satu, Dan Satu-satunya, betapa belenggu Engkaulah yang memerdekakan aku dari banyaknya hal - aku dan kau, bangsa-bangsa, agama-agama, dan batu kerikil dari pintu ke pintu di Jalan ini.


Aku memohon Engkau. Belenggu-lah aku sebagai hamba sahaya-Mu. Jangan lepaskan aku dalam ke-aku-an dan rantai siapapun, kecuali dalam belenggu-Mu.  


(Semah Minggu kedua)







Di Seberang ada apa katamu?



Di Pintu Gerbang ini, pada ambangnya aku bersimpuh, membungkuk dan mencium darah dan air mata kemenangan yang telah Ksatria-Mu reguk - menyedihkan betapa dulu ku menganggap penderitaan hidup bukanlah suatu kemenangan dan menyedihkan betapa mereka yang hendak mencapai Taman mengabaikan wajah-wajah-Mu yang terserlah di antara bunga-bunga berdarah dan berairmata ini. Bagaimana hendak menuju Taman tetapi tak mengetahui Rahasia siapa gerangan yang memegang kunci masuk ke dalam-Nya?


Aku baru saja menempuh jembatan ini, sebentar saja, rasanya bahagia sekaligus menyakitkan. Aku akan menjadi gila, tidak lama lagi, gila bagi mereka yang menganggap diri mereka waras karena meyakinkan kepada aku akan adanya kita dan Engkau itu suatu kenyataan, ada dua dan bukan ada satu. Ah! perihnya karena aku juga tidak ingin menjadi gila, tetap membiarkan dua dan tiga itu...sementara suara Engkau lebih kuat daripada genderang band apapun, ah... God, You Are Rock! Tak ada yang lebih keren daripada Engkau. Tak ada yang lebih asyik daripada Engkau. Tak ada yang lebih hebat selain Engkau!! Tidak ada seribu, tidak ada dua belas, tidak ada dua, hanya ada SATU saja, yaitu Engkau!


Tapi jauh sebelum aku sampai di seberang, mencapai Bunga, menari di dalam Taman, menari dengan-Mu, bagaimana mungkin aku melewatkan Pintu Gerbang, memujinya demi memuji-Mu, mengikuti jejaknya demi menuju-Mu, mereguk isi cawannya demi menenggak anggur dalam cawan-Mu? Hatiku telah keras membatu lagi kokoh membesi, air mata dan pedang berdarah dia yang mekar berserilah yang mampu melunakkan aku untuk membuka pintu dan jendelaku untuk mendengar suara-Mu, merobohkan tembok benteng ke-aku-an untuk hanya menerima-Mu dan membunuh aku di dalam perjalanan ini.


Aku hanya ingin pulang. Hanya ingin kembali. Tiadakan aku, Tuhan! Biarkan hanya Engkau saja!   


(Semah minggu ketiga) 




  

  

Saturday, 6 August 2011

Menuju Taman (Puisi)





Menuju Taman

Aku pergi mencapai Bunga,
Di dalam Taman.
Ketika aku pergi
Terbang menuju ke mana dapat kuhirup harum Cinta,
Mengapa engkau melarangku
Atau diam-diam 
Atau terang-terangan mencelaku?



Tidakkah engkau juga mendengar,
Dari kejauhan pun
Kudengar sayup-sayup suara air
Mengalir ke telaga di dalam Taman,
Juga kepak-kepak sayap 
Kupu-kupu dan kumbang-kumbang
Yang berzikir sepanjang detik
Memuja Cinta.
Aku tidak sabar memijak
Rumput-rumputnya yang berembun,
Mereguk air itu menghapus dahaga jiwaku
Membasuh tubuhku membasuh noda dosaku.





Katakan padaku,
Bagaimana hendak memasuki Taman ini,
Dari langit, melewati awan-awan,
Terbang melintasi negeri lalu mendarat?
Jangan membual kalau kau punya sayap,
Seperti malaikat atau burung-burung
Yang lebih suci 
Daripada kabar-kabar burung yang kausebarluaskan:
Tentang kami yang berjalan menuju Taman
Dengan kaki telanjang
Melewati batu-batu kerikil dan onak duri!
Kami tidak punya sayap hanya punya sepasang kaki,
Tetapi itu jauh lebih cukup
Daripada sebuah kepala yang hanya bisa
Mengenalku dari fitnah 
Yang dilontarkan sejak Kabil (Kain) membunuh Habil,
Sampai kau memenggal Husain kami,
Dan air mata yang menenggelamkan masa lalu kita.



Di jalan ini, 
Kupetik daun-daun yang lembut,
Merona terangnya saat diterpa Cahaya,
Kuhamparkan di atas bumi,
Tanah sebagai sajadahku yang panjang.
Dalam pengabdianku kepada Cinta,
Daun-daun beraroma semerbak Surga itu,
Membentang juga supaya dapat
Kusambut Sang Pangeran saat sisa nafasku
Masih dapat berhembus
Atas izin-Nya.



Taman itu kutahu, tetapi kutidak memahami,
Sebab aku hanya manusia biasa,
Hatiku mengaduh, pedih, betapa perihnya,
Duhai Tuhanku,
Mengapa kaubiarkan ketidakadilan di dunia
Ini merajalela, sebagaimana kaubiarkan
Aku tertawa dan kekenyangan,
Sementara di belahan dunia lain
Mereka merangkak dan saling membunuh
Demi sepotong roti dan seteguk air?
Tanganku terlalu lemah, dan aku pun
Tidak dianugrahi singgahsana dan istana megah,
Seperti raja-raja dan orang-orang kaya
Yang hidup tiada kekurangan.
Tidak pula kauanugrahi aku karunia
Sebagai pemimpin partai politik 
Supaya aku juga bisa menjadi presiden,
Hanya ingin kukerahkan cinta bagi mereka
Tapi yang kupunya hanya kata-kata,
Doa yang menetes bersama air mataku.
Duhai Tuhanku, jika diizinkan menggandeng
Tangan semua orang ke dalam Taman,
Akan kulakukan tetapi Engkau sendiri
Yang memilih, bukan aku, bukan siapapun.



Ke Taman,
Izinkan aku
Masuk melalui Pintu Gerbang-Mu
Mencium ambang-Mu
Yang harum kesturi
Dari jauh pun aku sudah mabuk kepayang
Merindukan-Mu
Merindukan Bunga-bunga.



Di Jalan ini, menuju Taman,
Orang-orang di kiri menyangkal Engkau,
Memaksa aku membuktikan keberadaan Cinta,
Betapa tidak masuk akal dan irasional,
Segala mestilah dibuktikan secara ilmiah 
Juga secara material.
Orang-orang di kanan memuja Engkau,
Tetapi melarang ku memuji utusan-utusan Engkau
Sepenuh hati, mengunci Engkau dalam
Dunia mereka masing-masing, mengklaim
Merekalah yang paling benar, yang paling mulia,
Lagi paling saleh!
Duhai Cinta! Jangan biarkan aku terseret,
terseret kepada salah satunya.
Biarkanlah aku berada di Jalan ini,
Jalan Tengah ini,
Tanpa basa-basi teologi apalagi dalil 
Yang hendak menyumbat daun telingaku
Oleh ancaman neraka dan sesat menyesatkan.
Engkau tak perlu dibuktikan,
Engkau tak perlu diragukan. Begitu pun
Semua utusan dan ketetapan-Mu.
Tak ada yang perlu kuragukan,
Setiap kata dan setiap hurufnya!




Pergi aku ke Taman
Rindu ku mencium Bunga, menghirup Cinta,
Menuju Engkau!


Aku menari menuju Taman.
Aku menari berputar-putar mendengar Senandung Cinta.
Terimakasih seribu kali dalam satu putaranku
Seribu putaran dalam satu langkahku
Tangan-Mu hari ini telah meraihku kembali
Menggenggam dan memelukku begitu erat.

Terimakasihku karena meraihku di Jalan ini
Menuju Taman-Mu!


Semah minggu pertama Ramadhan 1432 H


Notes:

lukisan-lukisan dari koleksi wall pictures facebook ibu Beryl C. Syamwil

Wanita Iran oleh Shakiba



Giovani Da Costa: WanitaTurki
Jin Ming Li : Gadis Suku Yi







Fred Max Bredt
JF Lewis











Georges dell Acqua
Nasr Edienne Pinet

Tuesday, 19 April 2011

Empat Gerbang, Empat Puluh Stasiun





Daun-daun yang rontok.
Angin yang berhembus.
Meniup melayangkan helai demi helai.
Tubuh dapat mengenalinya, udara,
Menghirupnya untuk bernafas.


Perjalananku dimulai dari sini,
Mengembara dari gerbang ke gerbang.
Dari gerbang pertama sampai gerbang terakhir,
Gerbang keempat.
Tiap-tiap gerbang berjarak sepuluh stasiun,
Sepuluh pilar menyangga setiap gapura.



Perjalananku dimulai dari sini.
Dari menjadi sehembus angin,
Aku bergerak kemana pun Dia yang meniupku,
Ke Barat atau ke Timur.
Terkadang aku melaju kencang,
Semakin kencang menjadi badai.
Terkadang aku bergerak sepoi-sepoi,
Semakin lemah gemulai hanya berdesir.



Di gerbang pertama,
Di gerbang ini aku tunduk.
Kepada Dia yang menghembuskanku.
Perjalananku masih terlalu panjang..
Tetapi, aku – dan juga engkau? – mungkin menjadi jemu
Sepuluh pilar ini,
Terkadang aku dan kau berjalan melambat,
Dari satu stasiun ke stasiun berikutnya.



Mungkin juga berhenti terlalu lama,
Menikmati secangkir kopi dan memikirkan,
Tentang layang-layang yang telah terbang
Entah ke cakrawala mana, tersangkut,
Entah di dahan pohon siapa...
Setelah Dia meniupku ke atas bukit,
Telah kudengar setiap Instruksi,
Telah kucatat, telah kubaca, dan telah pula
Dengan susah payah aku berusaha menjalaninya.



Ya. Di depan setiap gapura,
Kita dikirimkan Kata-kata sebagai Petunjuk.
Dan, di gapura pertama ini,
Taurat bergelora memancarkan cahaya
- Sebab perjalanan masih panjang,
Siapa gerangan yang hendak tersesat terlalu jauh?



Fajar menyingsing meninggalkan gelap,
Matahari semakin merangkak naik,
Bintang yang terang itu membara di langit,
Api yang menyala di puncak, menjalarkan
Juga kehangatan, memancarkan Cahaya
yang engkau cari.



Perjalananku berlanjut di sini.
Dari tiupan angin menjelma sebagai api.
Aku memberikan terang,
Juga hangat.
Aku menjadikan matang,
Juga hangus.
Terbakar.



Di gerbang kedua ini,
Di gerbang ini aku bergelora, bergairah,
Menyala, tercerahkan, sekaligus kepanasan.
Namun, perjalananku masih sangat panjang.
Takutkah aku dan kau akan panasnya yang membara,
Takutkah terbakar?
Takutkah gosong dan menjadi hangus?
Lenyap menjadi abu?
Terkadang hendak kembali,
Dan cemas melanjutkan perjalanan.
Betapa menyakitkannya! Betapa pedih dan perihnya!
Tapi, juga betapa sukacitanya!



Gubuk ini menjadi istana. Dan istana ini menjadi gubuk.
Saat kulepaskan lapis demi lapis jubah kemelekatanku,
Aku bernyanyi dan tenggelam dalam Musik-Mu,
Kidung merdu-Mu.
Di gapura kedua ini, Zabur mengalun seirama dengan-Mu,
Suara-Mu, keanggunan-Mu, keindahan-Mu,
Siapa gerangan yang hendak menari dan bernyanyi
Bersama denganku di jalan ini,
Menyusuri setiap stasiun ke gerbang berikutnya?
Perlahan demi perlahan, keraguanku juga memudar.



Begitu hangat mentari mengantar butir demi butir
Air kepada awan yang hendak
Mengubahnya menjadi hujan,
Dari mata air, laut atau sungai yang
Mengalir, kemudian hujan turun
Deras atau gerimis, menjadi banjir,
Danau, atau genangan air di atas genteng
Dan halaman, air yang dituangkan dari
Teko berbentuk bulat kepada gelas berbentuk persegi,
Kepada setiap bentuk ia mengikuti.
Semakin dekat kepada sumbernya, ia murni lagi jernih.


Perjalananku sampai juga di sini.
Dari api yang menyengat menjadi air yang mengalir.
Aku memberikan hidup, tapi juga
Mengambil nyawamu.
Aku bisa menjadi hangat, bisa menjadi sejuk.
Itu terserah padamu, sesuai kebutuhanmu.
Aku menyegarkan, juga menghanyutkan.
Aku membersihkan, juga menenggelamkan.
Perahumu dapat terombang-ambing,
Tapi juga karam.
Berselancar atau berenang,
Mengapung atau menyelami, apa yang kaupikirkan?




Di gerbang ketiga ini,
Aku murni dan memurnikan.
Jikalau tidak yakin untuk melanjutkan,
Mereka bilang diamlah di tepian,
Sebab kau takut akan tenggelam!
Gerbang Syariat dan Tarekat telah dilampaui,
Masihkah ada ruang untuk meragukan,
Di antara tetesan air mata Kekasihku?



Dari nafas Kekasihku sendiri,
Embun yang kuyup menjelma menjadi roti,
Dan goncangan yang lemah lembut,
Mengubah air kepada anggur,
Tidaklah mungkin aku tak mabuk oleh
Kabar Gembira, dari suara Kekasihku sendiri,
Maka, itulah janji manis Kekasihku dalam
Injil. Keraguan sepenuhnya akan sirna.
Selanjutnya apa pun yang kuminta tidak lagi
Berarti, kecuali Engkau sahaja.

Injil Lukas

Demikianlah setetes air menjadi
Segumpal tanah, dan dibungkus pula
Oleh daging, darah, juga kulit
Yang lentur lagi halus,
Untuk mengecap juga menyentuh,
Merasakan.



Perjalananku akhirnya tiba di sini.
Gerbang terakhir.
Dari air yang kadang tenang kadang berombak,
Aku menjelma sebagai tanah yang
Dapat menjadi gembur, juga tandus,
Sebagai pasir, liat, atau lempung subur.
Apabila terpelihara, akan terus makmur.
Menggantungkan sepenuhnya pada-Ku,
Angin yang menebar benih,
Api yang membakar kalori,
Dan air yang memenuhi dahaga,
Sepenuhnya telah musnah dalam diri-Ku.



Di Gerbang ini,
Berapa jauh stasiun telah dilalui,
Sampai tanah rela dipijak dan dapat memberi makan,
Gembala-gembala tahu harus kemana mencari rumput,
Petani tak sanggup berlepas dari bajak, tak pernah
Puas dari menatapnya.
Kita semua dengan jiwa dalam bentuk tubuh,
Akan dikubur di sini!
Tapi, tanamlah sebiji benih bunga pada kubur, dan siramlah,
Berilah cahaya matahari, dan biarkan udara terus
Berhembus, lalu, bunga pun akan tumbuh...
Seperti juga jiwa-Ku.
Bukankah
Di tanah yang gersang pun,
Tak ada yang benar-benar mati?


Maka, demi kemuliaan-Ku jualah,
Segala kembali dalam diri-Ku.
Mereka yang mengerti akan membaca-Ku,
Menyatakan Aku, mendeklarasikan Aku.
Nyatakanlah! Saksikanlah!
Demikian itulah Qur’an,
telah Ku-anugrahkan diri-Ku sendiri untuk
Mereka yang hendak meneruskan
Stasiun terakhir Hakikat kepada Makrifat.
Telah membacakah? Telah bersaksikah?
Di sini:
Kembali kepada Adam.


Kepada empat pemandu kuucapkan salam.
Empat gerbang, empat puluh stasiun.
Tiap-tiap gerbang dibangun dengan sepuluh pilar,
Sepuluh stasiun adanya.
Dan, di kota terakhir,
Telahkah menyambut Pembimbing Gerbang terakhir?
Ataukah langsung masuk menyelinap?
Kepadanya kuucapkan salam.
Dia yang akan kembali, kunantikan sejak gerbang pertama.
Bersama salam sejahtera untuk sepuluh pembimbing,
Di antara mereka.


Gayatri Wedotami merangkaikan
Dari Maqalat Haji Bektash Wali
Semoga beliau dan Ali Haydar diridhoi Allah.




20 April 2011

Tuesday, 5 April 2011

Kontemplasi Bulan April

Apel



Apel yang merah. Ranum. Bagimu, apa yang kaupikirkan? 
Kata mereka yang pernah menikmati apel beracun, tertidur seribu tahun menanti Pangeran tampan datang mengecup, "Janganlah menggigitnya." Sebab pangeran tidak pernah muncul. Celaka bagimu.
Kata mereka yang menikmati anggur dari apel yang difermentasi seribu tahun, "Rasakanlah manisnya."
Mereka yang tidak pernah mencicipi tidak akan pernah mengerti.
Karena itu, apa gunanya kita berbicara berbusa-busa di sini hanya membicarakan, "Apakah rasanya apel yang ranum itu?"
Kau dan aku mencari-cari yang Tidak Ada, tapi apakah itu Tidak Ada? Kalau Tidak Ada tidaklah mungkin akan kita bicarakan di sini...Apel itu ada di meja makan, dalam keranjang buah. Memakannya langsung, mengulitinya ataupun memotongnya, ataukah memblendernya sebagai jus, atau mengupasnya membentuknya menjadi kue pai, ataukah menunggunya menjadi anggur (wine) itu terserah pada kau dan terserah pula padaku. 
Kau dan aku bicara tentang siapa yang paling benar dan siapa yang terbaik - tapi citarasa apel yang berbeda-beda dapatkah mengubahnya menjadi sebutir mangga?
Jika kau menatap langit dan menemukan pelangi, apakah ia Satu ataukah ia banyak karena berwarna-warni, dan jika aku berkata lain, apakah pelangi akan berubah menjadi awan?
Kau memandang apel karena warnanya, dan aku memandang apel karena rasanya; Tetapi, apel tidak pernah berubah menjadi mangga. Dan kau tahu mengapa. 
Kau boleh membenci apel dan aku pun boleh menyukai apel.
Jika kita berbicara tentang demokrasi dan hak-hak asasi, mungkinkah petani apel seharusnya memberikan apel secara gratis kepada kau dan aku, sebab kita kelaparan di sini, tidak memiliki sereceh pun uang untuk membeli, dan kehabisan tenaga untuk menanam apel?
Keringat yang bercucuran dari dahi petani apel, membuat kita harus bekerja keras juga untuk bisa membeli walau sebutir apel, kalau dia mau semua apel akan dimakannya sendirian, dan kalau aku mampu bisa kubeli pula seluruh kebun apelnya.
Mengapa kita berbicara sia-sia tentang apel yang sederhana. Merah (baiklah, di kebunmu mungkin warnanya hijau, tapi ia tetap apel dan bukan manggis). Ranum. Dan, hanya bagi yang pernah mencicipinya-lah yang tahu rasanya.
Sebanyak dan sejauh apapun kita berbicara tentang apel. Melihatnya dari Bulan ataupun dari dalam Bumi. Dalam terang maupun kegelapan. Jika ia berulat ia membusuk. Jika ia dimasak ia bisa menjadi makanan yang lezat maupun tidak. Apapun yang terjadi. Apapun yang kita katakan sambil melempari apel busuk kepada satu sama lain. Apel itu tetap apel.