Aku seorang pelacur, yang secara sadar memilih
Kehidupan sebagai seorang pelacur, dan di rumah
bordil ini
Aku adalah primadona setiap pria yang datang
membeli.
Aku tak lagi mengenal cinta, hanya sebelas
menit,
Dan air mani dalam kondom berwarna-warni,
Sedikit fantasi tentang laki-laki yang pernah
kucintai,
Agar pelangganku merasa puas atas pelayanan
yang kuberi.
Aku seorang pelacur, yang menyembah memuja Ishtar sang
dewi,
Demi wajah cantik, tubuh seksi, dan tak pernah kurang rejeki.
Aku seorang pelacur yang selalu belajar memuaskan lelaki:
Demi wajah cantik, tubuh seksi, dan tak pernah kurang rejeki.
Aku seorang pelacur yang selalu belajar memuaskan lelaki:
Yang belajar menyanyi senandung sedihku di
dalam hati,
Yang belajar menari di atas ranjang untuk
laki-laki asing,
Yang menyerahkan tubuhku dalam kepedihan yang
sunyi,
Yang menghancurkan keakuanku dengan pedih tak
terperi
Malam ini saja aku hampir bunuh diri
Ingin rasanya tubuhku berlari dari tempat aku
menari
Sambil menjerit memaki diriku sendiri
“Tuhan, aku ingin pergi dari sini,
Aku tak ingin sebelas menit
Yang menyiksa begini, mohon jangan sekali
lagi!!!”
Tapi akhirnya aku hanya menangis dan meratapi
Nasib yang telah kupilih,
Garis takdir yang belum sanggup, belum berani
Kutinggalkan. Setiap tarianku adalah tangis
dalam sunyi,
Setiap gerakku adalah sayatan pisau pada jari
jemariku sendiri,
Tak ada yang kusesali kecuali
Sepi yang tak bisa kuungkapkan dalam puisi ini.
Aku seorang pelacur yang tahu diri,
Kukatakan di depan cermin kepada diri sendiri:
Aku bahagia meski hati penuh gores luka yang
perih.
Tak seorang pelangganku yang akan mengerti:
Kebahagiaan bagiku adalah sembilu.
Jika ada yang bisa mengeluarkanku dari sini,
Dari rumah bordil yang hiruk pikuk gemerlap
ini,
Maka ia adalah cinta yang murni,
Cinta yang sejati,
Yang dapat membebaskan aku dari sebelas menit
Yang selalu menghancurkan jiwaku yang suci.
No comments:
Post a Comment