Kenangan Musim Gugur
Di "pondok" tempatku berteduh, ia menghadap danau luas nan jernih
yang dipenuhi teratai-teratai merah jambu.
Sebatang sungai mengalir di bagian belakang, juga jernih dengan
batu-batu kali kemerahan yang indah..
Sering kujamu para musahibku dan mereka yang ingin menjadi murid
dari guru-guruku dengan hidangan yang dipetik langsung dari kebun
dan hutan yang merangkul kami, mengelilingi kami dengan pohon-
pohonnya yang rindang dan berbuah lebat.
Kami biasa duduk di teras belakang, menghadap sungai, atau di teras
depan, menghadap danau, sama-sama menghadap hamparan
taman bunga, mawar, melati, dahlia, kenanga, tulip juga krisan
dan beraneka bunga lainnya yang berwarna-warni rupawan.
Kami menghabiskan waktu dengan menikmati bercangkir-cangkir
teh, kopi, susu, atau air dari mata air tak jauh dari pondok,
bercengkerama, melepaskan penat lelah kami dari hirukpikuk
dunia. Seringkali sambil mengobrol kami bisa melompat
jauh sekali ke negeri-negeri yang asing dan antah-berantah.
Musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin,
juga musim kemarau dan musim hujan, kami lewati dengan
berbalas syair dan saling menatap jauh ke dalam batin.
Malam ini duduk di atas sebuah kursi goyang,
pikiranku tentu saja begitu jauh melayang,
setelah memetik sejambak bunga lavender ungu
untuk mengusir insomnia yang telah begitu mengganggu.
Teko-teko sudah siap dididihkan, dan begitu pula
kantong-kantong teh asli, dan kopi-kopi terbaik,
serta kue-kue yang kubeli dari pasar tradisional
yang dibuat oleh tangan rapuh para perempuan sederhana.
Cangkir-cangkir dan piring-piring duduk diam menanti,
sementara aku masih duduk di kursi goyang,
menanti kedatangan para musahib dan mereka
yang biasa bertandang, menanyakan kabar para begawan
yang hidup di puncak gunung bersalju,
berharap aku bercerita tentang pertemuan kami
setelah naik keretaapi melewati pegunungan yang sunyi.
Aku terus bergoyang-goyang, seperti anak dalam buaian,
Berharap tertidur dan bangkit dalam damai.
No comments:
Post a Comment