A View From Passionisti

A View From Passionisti

Sunday, 8 September 2013

Bulbul dan Mawar pada September Kelabu



September ini kelabu, meskipun langit tidak abu-abu. Aku seperti terlahir kembali, bergerak ke dalam kekosongan. Aku telah menjelma menjadi seekor bulbul. Seekor bulbul yang diam-diam memuja mawar, dan mawar-mawar di taman rahasia, nun jauh saujana mata memandang, namun begitu dekat di dalam kalbu. 

Bulbul pun bersenandung lirih,
"Wahai jiwa, apakah terlahir dalam tubuh yang salah?  
Air mata yang mengalir, 
Sayap yang cantik, namun lemah?
Mawar merah merona, 
Mungkinkah aku menjadi bulbul yang merdeka?
Milikmulah segala pesona,
Sementara aku terlalu hina untuk menjadi pemujamu."

Siapakah gerangan sang mawar yang telah mencuri hati bulbul hina yang tak mampu terbang tinggi? 

Bulbul berbisik kepada angin yang bertiup sepoi-sepoi menerobos jeruji sangkar emasnya,
"Duhai angin yang berhembus,
Seandainya aku seorang tukang kebun,
Sudah pasti aku berkali-kali tertusuk duri mawar.
Tetapi, hanya sesekali aku dapat pergi ke taman,
Pun, tak tahu apakah sanggup terluka berkali-kali?"

Angin yang menerobos dan hilir-mudik dengan pakaiannya yang tak berwarna dan berbentuk, membalas bisikannya 

"Duhai bulbul yang manis,
Menggenggam tangkai mawar pasti akan terluka,
Tetapi jika mawarnya merah merona,
Maka darah yang mengucur tidaklah sia-sia."

Bulbul mengepak-ngepakkan sayapnya. Air matanya menetes. Karena sekarang ia tak bisa kemana-mana, tak bisa terbang lebih jauh daripada sangkar emas ini.

"Seandainya aku menginginkan sesuatu,
Maka sekarang ini aku hanya menginginkanmu,
Wahai Mawar."

Demikianlah bisik hati sang bulbul. Hatinya telah dipenuhi oleh kerinduan. Sekaligus kesadaran. 

"Tetapi, aku tahu diri,
Wahai Mawar.
Dapatkah aku menjadi kekasihmu?
Menjadi sahabatmu pun,
Apakah aku mampu?
Apakah dikau kiranya berkenan?
Ya, ya...
Aku baru bisa menjadi pengagummu,
Pengagum rahasiamu."

Pada suatu malam, dalam mimpinya, sang mawar akhirnya hadir sekilas di hadapan sang bulbul, melalui wanginya, dan senyumannya yang dilemparkan lewat bayang-bayangnya pada air danau yang jernih. 


Bagi sang bulbul, kerinduannya sedikit terobati, walau hanya sebentar saja dapat melihat sedikit sang mawar pujaan hati, walau hanya pantulannya pada air danau yang jernih.

"Duhai Mawar,
Betapa indah pantulanmu
Yang dapat kulihat
Dari permukaan air.
Tetapi hanya sekilas itu
Sesuatu terlempar dan jatuh
Ke dalam air.
Oh, oh, betapa sebak dada ini!
Betapa baru sepercik saja 
Membasahi keringnya kerinduan ini!"

Maka sang bulbul kembali, kembali pulang menyelinap dan terbangun di dalam sangkarnya. Dia menangis, menangis tersiksa oleh kerinduannya, dadanya terasa sesak, dan hatinya terasa pilu. Dia tahu, semua yang dia rasakan adalah rahasia. Siapa yang dapat mengerti? Tuannya. Tuannya mengerti. Tetapi, bisiknya lirih di dalam hati:

"Tuanku, 
Hamba hanya seekor bulbul,
Di sangkar ini, rasa sepi begitu menyiksa,
Kesendirian ini, begitu mendera
Tak dapat berbagi, tak dapat bersenandung
Kecuali kepadamu."

Sang bulbul tak dapat menceritakan rahasianya kepada burung merpati apalagi burung elang. Bahkan meskipun yang dia jumpai semuanya adalah kawanan angsa rupawan.


Maka, kata bulbul kepada tuannya, berkicau nyaring-nyaring dari balik sangkarnya,

"Duhai tuanku,
Bawalah, bawalah teman untukku...
Seorang saja sudah cukup,
Tetapi jika lebih,
Aku berterimakasih."

Akhirnya, tuannya merasa kasihan, mendengarnya, lalu membawa sangkar emas lain berisi bulbul. Mereka pun saling berkicau dan bersahut-sahutan, kadang sendu, kadang juga gembira. Masing-masing dari dalam sangkarnya. 

Misalnya, sang bulbul bersenandung kepada bulbul lain di hadapannya,

"Aku mengerti engkau bersikap rendah hati,
Wahai bulbul di ujung sangkar sana.
Kita sama-sama mempunyai kelemahan,
Entah pada sayap atau pun pada kelincahan,
Pada lagu yang kita senandungkan, 
Atau pun pada bulu-bulu kita yang rapuh.
Mungkin, besok atau lusa, tuan kita akan 
Membawa aku, atau membawamu pergi 
Dari sini. Tetapi, itu tidak penting.
Selama masih ada waktu, marilah
Kita berkicau dan saling bersahut-sahutan,
Bercerita tentang mawar, dan mawar-mawar,
Rahasia tentang sang mawar, dan mawar-mawar.
Selama engkau masih mendengar suara
Kicauanku, dan kau membalas sahutanku
Dengan merdu, aku ucapkan terimakasih.
Dan, apabila, bagimu, suara sahutanku
Tidaklah merdu, kumohon maafkan aku.
Ada kalanya, tuan kita membawaku pergi
Dari sini, untuk menghibur tamu-tamunya,
Di kala lain, tuan kita memilihmu 
Membawamu pergi dari entah untuk apa.
Tetapi, baiklah itu tidak penting.
Meskipun kita mungkin tidak harus 
Berjumpa lagi, atau akan berjumpa lagi,
Memanfaatkan sedikit waktu bersama 
Yang ada dalam sangkar masing-masing,
Aku telah merasa tidak pernah sendirian lagi.
Tidak pernah sendirian lagi."

Tuan mereka selalu mendengar senandung mereka. Betapa merdu terdengar paduan suara yang kadang-kadang dilantunkan ini. Betapa merdu sahut-menyahut ini. Tuan sang bulbul membawa lagi sebuah sangkar. Sebuah sangkar emas lagi.

"Duhai sahabat,
Bisikkanlah sekali lagi,
Ke dalam kalbuku,
Rahasia tentang mawar,
Mawar yang diam-diam
Kita kagumi.
Bisikkanlah sekali lagi,
Rahasiamu
Saat berjumpa dengannya.
Oh, betapa hanya sedikit
Yang mengerti
Saat engkau juga tidak ada di sini,
Kerinduanku padamu,
Adalah kerinduanku akan mawar
Yang kita selalu senandungkan
Bersama-sama."

Di tengah kabut, di antara mendung, ketika dunia berguling-guling terjatuh ke dalam arena yang hiruk pikuk, air mata, kebencian, dan jeritan tiada habisnya, aku duduk tersungkur. Seperti bulbul, aku hanya bersenandung diam-diam. Ternyata hanya bangsa bulbul yang dapat memahami bangsa bulbul... 

September ini kelabu, meskipun langit tidak abu-abu. Seperti selalunya, aku terlahir kembali...Tetapi sekarang baru menyadari betapa telah terseret begitu jauh, terus bergerak ke dalam kekosongan... Seperti bulbul. Aku bergerak, melangkah, merayap, dan mengharap, bahkan berhenti sejenak,  dari kerinduan kepada kerinduan. 


Pondok Gede, September, 8 2013.




No comments: