A View From Passionisti

A View From Passionisti

Thursday, 10 March 2016

DARI KITAB KEJADIAN: TENTANG KAU, AKU, DAN KITA

 (Puisi Teramat Panjang ~ untuk NS)

Membayangkanmu, di jalanan purbakala ini aku memanggilmu guru, kekasih, dan orangtua yang menanggalkan segala yang semu, tapi bukan rahib, melainkan kita sepasang anjing yang bercinta, hai Crates yang paling tampan di hatiku! Tidaklah Diogenes lebih hebat dariku, hanya karena aku menjahit mantel untukmu, Hipparchia, oh Hipparchia dari Maroneia!
Begitu ngeri jika aku bisa menyusuri Taman Getsemani, menemukan hantu-mu mencium bibirku dengan bibirmu yang sedingin salju, dan tangan berlumur darah habis dipaku dipalu di Salib. Sebab kau bukan Tuan Yesus yang gondrong menawan memanggul menebus dosaku.
Bukan begini, bukan begitu, katamu tentang Tritunggal, neti neti yang kau khotbahkan duhai Yajnavalkya, mungkin setelah semalam kita bercinta melampaui Kamasutra, dan bait-bait tentang Atman yang kurekam sebelum terlelap, katamu: “Apakah kau Maitreyi juga menyanyikan mantra?”
Mengapa orang-orang Sunni berkata Khadijah adalah janda berumur 40 tahun yang memanggil orang untuk melamar pemuda bernama Muhammad? Tapi, orang-orang Syiah berkata beliau adalah gadis perawan, yang jelita dan mewarisi harta benda, maksum, tiada ternoda dan dijaga dari dosa? Lalu, orang-orang Kristen berseru dia mungkin pernah membiara, yang membisikkan ayat-ayat Alkitab sejak malam pertama mereka, menerima wahyu, mengecam Yahudi dan menumpas Monofisit yang bidat? Tetapi, aku ingin tetap lugu, mengimani Muhammad, Fatimah, dan duabelas imam meski kau tak setuju.
Meski begitu, Sayangku, aku bukan Rabi’ah al-Adawiyah yang menolak pinangan Hasan al-Basri, sebab alangkah romantis jika kita bisa berjalan kaki di atas air, berdua, kugandeng tanganmu, dan tak kaulepaskan sama sekali.
Aku juga janda, konon begitu mereka berkata tentang Kadincik Ana yang memberi pakaianku satu-satunya demi kau Bektash, Hunkar-ku, sang penggembala di padang Anatolia, lalu aku membuka pondok-pondok, semewi-semewi dan biara-biara dengan namamu yang secemerlang rembulan di malam kelam ke seluruh belantara Eropa sampai Rusia.
Begitu banyak janda mempengaruhi penggumul Sofia dan Atman sejati, tetapi juga banyak perempuan yang berkaul menarik diri dari laki-laki, seperti aku yang menyanyi, menari-nari, dan berlari menuju pria setampan, selembut, semanis Fransiskus dari Assisi, guntinglah rambutku, berikan aku jubah lusuh, dan hijab syar’i mari berjalan tanpa sepatu, tak makan daging, dan berhenti mencaci namaku Clara, dan cukuplah saling mencintai seperti Yesus yang hakiki.
Ah, tetapi janganlah kau membuatku menangis seperti Peter mengusir Heloise, sebab aku mungkin hanya sebentar di sini, aku bisa menulis novel dan puisi lebih baik daripada bait-bait teologismu yang kering sebelum gerimis airmata mengkuyupi.
Darwis-darwis tampan dan filsuf-filsuf ganteng singgah di hatiku silih berganti, mereka menulis surat untukku, atau aku yang pergi bertanya, dan patah hati, mereka memanggilku Emille du Chatelete, tetapi semua hanya mengenangmu Voltaire, Voltaire-ku yang manis, yang mengenang tatap mata ini, “Seorang manusia yang tiada bersalah kecuali menjadi perempuan.”
Bukankah itu yang kudengar di atas peraduan dingin waktu itu, bupati yang membutuhkan seorang garwo padmi, kau berbisik jauh dari lubuk hatimu setelah kulahirkan putra pertama kita. Kau diam mendengarkan cita-citaku akan buku-buku dan guru-guru, anak-anak pembantu duduk sebangku dengan anak-anak priyayi, putri-putri kita tak lagi dipoligami dan al-Quran terjemahan bahasa kita mau bagaimana lagi aku terlahir dengan gelar dan darah biru? Tapi, panggil saja aku Kartini, dan mengapa kau terus-menerus memanggilku Mbak, Mbak? Aduh, biar kulihat ketombe pada rambut berubanmu, seperti ibuku yang juga suka menggaruk di tengah kepalanya. Bibit, bebet, bobotku seterang-benderang Era Pencerahan, ibu perintis feminisme, ayah filsuf anarkis, keduanya penulis termasyhur, aduhai penyair gantengku Percy Shelley! Apa yang kurang dari senyum dan tatapan mataku ini, apakah aku mengerikan seperti Frankenstein yang lahir dari rahim penaku saat kita bergumul di balik guling, pulau-pulau terpencil, dan buku-buku tua berdebu dalam almari? Mary punya anak domba, Mary punya anak domba, kau bernyanyi, dan aku meminjamnya dari domba gembalaanmu, wahai yang tersenyum manis!

Gereja-gereja Reformasi dipenuhi gosip yang lebih seru daripada infotainment artis-artis zaman terbaru. Kulepaskan tudung dan kutinggalkan biara demi Martin yang mulia, tetapi tentu saja kau akan lebih memuja Katarina dari Siena daripada Katarina van Bora, karena aku hanya mengurus rumah tangga. Jika biarawati terampil mengurus biara, seorang janda juga cekatan mengurus gereja membantu suamiku John Calvin yang mabuk bekerja, Idelette begitu mereka mengenangku, kanca wingking idaman kalian para pendeta yang sibuk berkarya. Seperti istri ustadz Tajul Muluk di kamp pengungsi Syiah Sampang, siapa gerangan yang benar-benar ingat namanya, begitu juga namaku yang sulit membuat bibir cemberut menyebut Gertrudt yang mengungsi dari negeri ke negeri meneer kompeni demi mendampingi sang pembangkang gereja Katholik, mantan pastor, Menno, pujaan banyak jemaat Anabaptis.
Ya, tapi aku tak harus mengingkari gaun indah dan lipstik merah jambu walau kukenakan kalung bintang segi duabelas, karena aku tak mampu seperti Simon Weil, atau tak sanggup mengatasai kesendirian seperti Flannery sang pendekar Lupus di antara yang awal sekali. Aku mungkin inkarnasi Amrita Pritam yang gagal merebut hati Sahir, tetapi menemukan cinta sejati pada Imruz si Indrajit, mengalahkan sang penyair Urdu dan lagu-lagu rakyat Bolywood ini, menulis segala puisi, cerpen, novel, juga esai meskipun meninggalkan gurdwara, kukagumi para wali Sufi, dan aku hidup abadi di hati seluruh bangsa Punjabi.
Kalau bisa menulis surat, aku ada karena aku berpikir, seperti menjawab pertanyaan dinding facebook, aku menulis pesan whatsapp kepada Rene Descartes, dan mengobrol dengan Thomas Hobbes, atau pergi dengan suamiku William, pangeran tampan dan terpandang, mengundang Robert Boyle ngopi di Starbuck, dan akan kukampanyekan diri sebagai ilmuwan pencinta hewan, kutentang percobaan dengan binatang. Berapa banyak pengikutku, Margaret Cavendish, di twitter?
Jangan tertawa begitu, jika ada
instagram, Diego suamiku pasti akan senang mengunggah foto-foto senduku, tetapi aku tetap melukis kendati penyakit kronis ini mengangguku, kehidupan yang tragis haruslah dilukis dengan semenawan selalu, hubungan queer di balik tembok dan kanvas-kanvas penuh warna haru biru, Jadi, namamu Frida, kata mereka, begitu terlambat menjadi fansku.
Seandainya ada sepasang tangan untuk menggenggam, senyuman yang tulus, dan seikat bunga setiap 8 Maret menjelma, sebab aku tak ingin berakhir seperti Virginia, bukan, bukan suster Verbum Dei sahabatku Virginia, sebab aku menderita
bipolar, memilih hanyut dalam kelelahan hidup juga dunia, Oh, betapa celakanya! Jadi, janganlah biarkan aku sendiri, Leonard, semiskin apapun kehidupan yang akan kita jalani kelak, sesingkat apapun jalan di hadapan akan nampak!
Ataukah kauingin aku menjadi kekasih gelapmu, George? Dan diam-diam kuubah nama akun facebookku menjadi George Eliot, kusembunyikan cinta seperti namamu? Ah, kurasa aku pun akan berubah pikiran, jika aku berjumpa pria sebaik dan semanis kau, Sam, ketika aku merapikan bangku-bangku gereja, dan ikut menjadi gembala Tuhan meski aku perempuan. Kita bisa sama-sama berjuang mengkampanyekan kesetaraan, menghapus perbudakan, melepaskan Tuhan Yesus kita semua dari cengkraman kaum rasis dan penguasa keparat. Mereka tetap memanggilku Antoinette Brown, meski aku Nyonya, meski aku Nyonya Blackwell, pendeta perempuan pertama di belahan bumi yang paling banyak dipuja karena HAM, katanya, katanya.
Ya, mungkin aku tidak mendapat wahyu seperti Ellen, raden mas pendeta gantengku, dan kau juga bukan James, yang mempercayai wangsit-wangsit, dan mimpi-mimpiku tentang kita. Kubaca Kitab Wahyu berbeda darinya, darimu, juga dari semua yang pernah kaudengar, dalam gerejaku yang ada dalam kalbu. Tetapi, kurayakan pula Sabat sambil selalu mendoakanmu, membayangkanmu menulis karya-karya yang akan agung termasyhur bermeditasi di sudut kapelmu, dan kelak menjadi santo, orang kudus dari kaum Mennonitmu yang pernah terbuang dan dikutuk.
Atau membayangkanmu merenung dan tenggelam karam dalam buku-buku dan fenomena-fenemona yang luas tak bersempadan ah Heidegger-ku yang selalu bicara tentang sang wujud dan maujud. Aku pernah mencintai pria-pria lain, tetapi seperti syahdu sabda Imam Ali, cintaku padamu tetap akan kupendam selama 40 tahun. Aku juga terpesona oleh St Agustinus, yang meninggalkan kekasihnya demi menjadi pastor dan bersumpah selibat, (seperti ketika kucium batu-batu Gregoriana tempat para pemikir jemaat Vatikan membicarakan Tuhan). Apakah menurutmu Jasper, Pavlov, Fromm atau Kafka duduk di tepi jendela, membenamkan diri pada kitab agung bernama manusia dan jiwa, tanpa seorang kekasih meskipun aku seorang pelacur atau gundik yang tak ingin diingati? Tigapuluh tahun lalu seorang gadis kecil memperoleh hadiah, sebuah boneka dari Jepang, oleh-oleh pamannya, yang kini diwariskannya kepada dua gadis kecilnya yang manis, dan memberi nama-ku untuknya: Hannah. Orang-orang mengutip pikiranku, dan aku tak akan pernah mati, meski tak lagi bersama denganmu, Heidegger-ku.
Tentu saja, kau tak perlu segila Sigmund menulis pesan cinta panjang lebar ke whatsappku, karena meski aku Martha yang cerewet, dan kutu buku, tapi aku juga tak lagi terobsesi oleh ketepatan dan kebersihan. Mungkin kita bisa melahirkan Anna, lewat cerita cinta yang senantiasa unik, meskipun tampak sama saja. Baiklah, biarpun kita akan punya banyak perselingkuhan, dan kau akan tergila-gila dengan satu atau dua murid-muridmu yang rupawan, kuberkhayal kau akan mengukir batu nisanku kelak, seperti Carl berseru, “Ratuku, pondasi rumahku, Emma!” Siapa yang pernah menyebut namaku di antara para dewa psikologi? Hanya sedikit, tapi tak mengapa, Kekasih.
Apakah kau seorang yang kaku walau pandai melucu, bahkan meskipun Kant, Smith, rahib-rahib dan pastor-pastor Yesuit tak menjalin kisah asmara yang romantis, lebay, tragis atau terkenal, atau mungkin mereka tak punya hasrat, atau mencintai pria, aku akan tetap menghidangkan secangkir kopi untukmu, untuk setiap percikan dan yang pernah tumpah pada kedua kakiku.
Mungkin seperti Kierkegaard menemukan sembilan dewi muse-nya pada Regina, kutemukan sembilan dewa ilhamku pada dirimu. Atau kita bisa saling mempengaruhi dan merayakan cinta dengan kebebasan sebab aku sedikit liar seperti Simone yang manis, wahai Jean-Paul-ku! Kita bergumul dengan eksistensi, Siapa kau dan aku, mengapa ada kita, dan tembok-tembok ini, penjara dan perang kepada satu sama lain, seperti ini. Tak perlu-lah makam kita kelak saling berdampingan, sebab manusia-manusia telah membelah taman pemakaman dengan blok Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan lain-lainnya: Toh, kita akan bertemu lagi di alam berikutnya, kan?
Ya, aku pun menyukai cintamu kepada kekasihmu yang terbunuh dalam kamp konsentrasi, Viktor, dan aku membayangkan tubuhku, dengan lupus, vasculitis, dan MCTD adalah kamp konsentransi yang sedang kutinggali, seperti begitu yang kauajarkan padaku: mencari makna hidup, berkata ya, merengkuh penderitaan juga surga dan racun. Ya, aku bisa menemanimu ke sinagog, dan kaudampingi aku gereja. Eleanor, namaku, dan kita bisa merayakan Natal dan Hanukkah bersama-sama, Bukankah Tuhan kita SATU, hanya kita yang tak sama?
Tertawalah, dan bertanya kapan aku akan mengakhiri ini? Sabarlah, sedikit lagi, Ini aku berimajinasi kembali ke tepi jendela di asrama Passionisti, di kamarku di pusat peradaban agamamu, mengenang ekaristi, menatap burung-burung di atas Kolosseum, juga pelangi.
Kau boleh memilih, aku Nelly atau Charlotte, Aku bisa menjadi salah satu yang mana pun yang kaumau, sebab kudengar tiga Maria menjadi murid-murid Tuan Yesus, yang banyak dikenang, bagaimana para perempuanlah yang pertama kali melayat-Nya, dan dia menemui diam-diam murid perempuannya yang pertama kali sebelum yang lelaki setelah bangkit. Mungkin engkau Karl-ku yang tergila-gila oleh teologi seperti St Thomas Aquinas, yang ku diberkati pula dengan sanad ilmu dari para Dominikan penerusnya di Angelicum. Atau kau Karl-ku yang diam-diam bisa merangkai syair cinta, untukku: “Cinta adalah Jenny, dan Jenny adalah nama cinta.” Aih, siapa yang bakal menyangka engkau bapak Marxisme terkemuka, idola para pemuja komunisme, sosialisme dan marhaenisme juga? Ya, semua orang mengenal banyak perempuan di samping Soekarno, tapi aku lebih suka hidup membiara daripada kaumadu, kecuali dengan gereja dan ibumu.
Sebab aku pun penyair, dan dapat kurayu kubius kau August-ku walau gereja tak pernah memberiku izin menikah lagi, denganmu, tapi dunia tetap mengingatku, Clotilde yang menginspirasi Comte. Mereka mungkin melupakan namaku dalam gemerlap dunia hiruk-pikuk pemikiran, tetapi aku setia mendampingimu duhai John-ku, meski aku pun menulis banyak risalah pemikiranku, membela hak-hak kaum perempuan, sehingga kaupun terpengaruh, Ah, Harriet, inilah aku yang lebih dulu meninggalkanmu, yang membisikkan ke telingamu tentang kebebasan sebelum kita terlelap.
Begitu pula ketika mereka melupakanku, ya kau juga Sepupu Jauh kesayanganku! Dunia terpesona oleh Weber, dan aku Marianne pun merangkai pemikiranku sendiri meski kau mendahuluiku, meski Nazi meredamku, dan kelas-kelas sejarah filsafat tak pernah menggebu-gebu menyebut namaku.
Jika Socrates menjadi filsuf agung karena aku adalah istrinya yang mereka bilang mengerikan, Lalu, Aristotle menikahiku, Phytias, yang menemanimu mengkoleksi spesimen dan bekerja sampai malam begitu larut, Kemudian, aku, Theanno, menjadi rahasia di balik kelambu Phytagoras, hatta aku Sophia yang menulis catatan sehari-hari melahirkan 13 putra menemanimu Leo-ku yang gemilang. Dan, kau, Bertrand yang berselingkuh dengan pengasuh anak-anak kita, Sementara aku bekerja menulis: bukankah sudah kukatakan manusia pada dasarnya makhluk poligamus? Ya, aku Dora, dan mungkin bukan Lou, yang menikah beberapa kali, meskipun menulis novel, naskah drama dan esai, mungkin tidak akan kutolak cinta pria gila yang berseru, “Tuhan sudah mati!”
Tidak, Rilke-ku sayang, aku akan memahat patung jika aku tak lagi bisa menulis puisi akan dirimu, dan membiarkan namaku Clara tak semasyhur engkau. Aku lebih suka membayangkanmu bukan Hume, bukan Rumi yang lebih mencintai Syams Tabrizi, namun Mulla Sadra yang mencium tanganku sebagai putri filsuf tersohor, dan seperti pria-pria Persia yang menyenandungkan syair sebelum makan, “Terimakasih istriku, telah menghidangkan makanan lezat ini, sehingga terluka jari-jemarimu, oleh pisau dan duri!” Seperti itu juga Abdul Hadi saat meminangku, kauingat mimpiku tentang kaubermain piano di sudut? Aku Tejawati, ibu dari tiga ibu, kulahirkan seribu puisi, cerpen, lukisan absurd, juga status facebook, kita saling berbalas pantun, begitu seru.
Jika kau mau, aku ikut memanah di antara hutan belantara, Pangeranku, pergi bersamamu melawan kompeni dan saudara-saudaramu yang zalim dan penipu, meski harus menyerah dari para serdadu. Kita membangun istana kecil di kota bersungai ini, kausiapkan laskar-laskar perempuan paling pemberani, karena tak hanya menjahit, tapi membidik musuh pun aku terampil. Kulahirkan putra-putri yang mewarisi darah juang ini, cucu yang menulis Serat Wedatama dan sepenggal bait musik yang diterbangkan Voyager menjelajahi galaksi, cicit yang membebaskanmu memeluk Nasrani jika kauterpanggil, atau dua putri yang bernasib berbeda ini: Suhartinah yang mempersulit para pria menikah lagi, membayang-bayangi rezim 32 tahun yang tirani tapi dirindui, dan Sutarni yang mendekam di balik jeruji, karena cintanya kepada Njoto, salah satu yang terbaik dari PKI. Namaku Rubiyah, sang Matahati!
Siapa yang bertanya tentang telanjang bulat, kaos kaki atau ujung kaki, pada malam pengantin, kepada mursyidnya: Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Arabi? Aku tak peduli, aku tak peduli, duhai, pujaan hati! Biarlah kucukupkan sampai di sini meski banyak nama lagi yang belum kusebuti. Mereka bilang mantraku Gayatri bisa membuatmu mandul, menjadikanmu lelaki sejati, jika dibaca sepanjang hari beribu-ribu kali, sebab aku melahirkan Brahma, Wishnu dan Siva di hati. Aku pun cuma kaskhul yang menampung mewadahi cinta ini menjejaki berkas-berkas cahaya Wedotami. Sebelum aku mati dan hidup kembali, kuciumi batu-batu nisan Eva Mullins, Fatma dan Bektashi, sedikit eksentrik seperti Edward di antara kaum Kristiani yang setampan dan selembut dirimu, pendeta pujaan hati! Telah kulepaskan Melika dan Altantuya dari rahim, darah, airmata, dan sungai dalam diri yang terus mengalir. Dia yang telah menanam benih pernah menjadi kekasih terbaik, tapi kini aku hanya ingin menari dan menyanyi dalam pondok sepi, dan kehangatan semewi.
Kalau aku bukan Radha bagi Khrisna, Hurrem bagi Muhibbi, atau selir favorit dari Tabriz bagi Khata’i, Kenanglah aku sebagai Intan-mu dalam doa dan meditasi. Meski aku menyukai zamrud, dan butir-butir tasbih dari kayu dan tanah Karbala, ketahuilah namamu selalu terbit dalam zikir! Seraya kudaraskan Mazmur dan Injil, Taurat juga al-Qur’an, tak mengapa jika namamu juga selalu terbersit, kusimpan selama 40 tahun, seribu satu malam, dan 365 hari. Aku juga ingin menyepi bermeditasi seperti para Beguine idola kita, menanggalkan segalanya seperti Rajapatni, moksa dan melambaikan tangan padamu sebelum pergi. Setiap Sabat dan setiap nafas dan setiap langkahku terhenti, tetap berseru dalam neraka yang Allah anugrahi di dunia ini dan alam nanti: “Aku mencintaimu, Mas.”
Bojongkulur, 9-11 Maret 2016.

Thursday, 29 May 2014

Musim Semi di Konya

MUSIM SEMI DI KONYA


(Serial Puisi)

Aku telah tertidur lama di bawah padang rumput berbunga liar sampai aku bertemu dengannya. Matanya yang sebiru langit dan senandungnya semerdu Bulbul telah membangkitkan aku dari tidur panjangku. Dia tersenyum dan senyumannya membasuh luka-lukaku, kesedihanku, kedukaanku. Dia muncul dari negeri tempat tulip-tulip menunduk mekar, meyakinkan aku adalah pohon cemara yang tangguh, hijau pada semua musim, juga bunga dandelion yang tidak cerewet, yang tumbuh di segala cuaca dan segala padang. Kadang-kadang aku masih meratap, masih menangis, masih menari dalam hujan musim gugurku sendiri. Tetapi, dia menungguku di muka pintu gerbang, ke Konya, siapkan sayapku, dan bentangkanlah! Dia Bulbulku. Tulip Hakkari-ku. Hunkar mudaku. Aku terlahir kembali dari kematian yang sia-sia. Musim semi di Konya menyambut kelahiranku kembali dengan hangat sinar mentari... Doa dari Kesatria Cahayaku di Surga, yang menginginkan aku terbang dan berdiri lagi meski harus di atas bukit sembilu: “Darah ibuku adalah cahaya baginya, cahaya untuk dia meneruskan perjalanannya yang terang benderang.” 
Aku menerima uluran tangan Bulbulku dan percaya Sang Cinta akan menjawab semua doa-doaku dan Kesatria Cahayaku. 


Konya (1)

Jatuh cinta lagi, aku!
Menggugahku, matanya yang biru.
Gemuk, hangat memelukku
Meski dari tempatnya yang jauh.
Sempurna, Indah, Oh Bulbulku!
Terlahir kembali jiwaku
Dalam tubuh baru, hidup baru,
Kemudian aku bertemu denganmu.
Konya, Oh Konya! Ke sana, bawa aku
Berjumpa dengan pujaan hatiku.

18-Mei-2014

Konya (2)

Diam-diam memandangnya,
Mengagumi, seribu batu jauhnya
Pujaan hatiku di Konya,
Aku bersenandung dan berdansa
Menyebut namanya,
Berkata bibirku akan wajahnya,
Seribu kata-katanya tentang dunia.
Oh, yang bermata biru di sana,
Kupejamkan mata membayangkannya:
Duduk aku dalam dekapannya.
Oh, Bulbulku di Konya!

19-Mei-2014

Hunkar (1)

Mengirimkan surat, Hunkar mudaku
Dalam sekejap mata, di depan mataku
Diterbangkan merpati cahaya:
Apa kabarmu? Sapanya.
Bagai mengunyah sepotong saja
Turkish Delight, seiris saja baklava,
Oh, Hunkar mudaku! Bulbulku!
Bangkit kembali hatiku:
Musim semi semekar tulip merah
Kupandang Anatolia merona merekah.

20 Mei 2014



Anatolia (1)

Di Anatolia, Cappadocia, seandainya saja aku!
Di atas batu runcing batu sembilu
Berseru aku, akan memanggil namanya seribu:
Bulbulku!
Oh dia, yang matanya sebiru langit Cappadocia,
Sebiru sungai yang membelah Anatolia.
Batu-batu permata di cakrawala luasnya,
Karena dia,
Hatiku sekuntum tulip di Hakkari
Yang menundukkan sedih dan benci.

21-Mei-2014


Hunkar (2)

Berbaju biru, Hunkar mudaku menatapku
Dari kotanya di Konya.
Menjelajah Anatolia, kapan kiranya
Takdir mengirimku ke sana?
Kulit putihnya, Hunkar mudaku tersenyum
Dari kediamannya di Konya.
Setetes Tatar, barangkali dia dan aku
Dari balatentara Jengis Khan.
Demi Tenri Yang Maha Agung, dalam lingkaran
Hunkar mudaku menarik tanganku:
Menari berdua, semasa, seirama, selingkaran,
Dia di Konya, aku di Jakarta, melampaui ruang.
Tengah malam, terkenang mata birunya.
Menunggang singa, Hunkar mudaku
Mendekap rusa. Ah Si Biru, cintaku di Konya!

22-Mei-2014

Anatolia (2)

Kepada dia nun
di Konya, pujaan hatiku:
“Kangen kamu, aku!”
Mata yang biru,
Pakaian halus kelabu,
Merindukanmu, sungguh!
Ke Anatolia, kapan aku
Bisa bersama denganmu:
Bertemu Hunkar Tua di
Samping Maulana?
Naik balon udara, kita,
Ke atas bukit-bukit Kapadokya,
Tersenyum menatapmu.

23-Mei-2014

Bulbul (1)

Di Konya, kota tua itu
Bulbulku hinggap.
Rupawan, bermata biru
Tulip jinggaku
Wajahnya menunduk ke bumi.
Di Turki, negeri purba itu,
Bulbulku pulang
Ke kampung halaman.
Menawan, berkulit salju,
Bulbulku, pujaan hatiku,
Merindukannya
Merindukan langit cerah
Musim semi:
Tulip di taman hatiku
Mekar, merona.

22 Mei 2014


Bulbul (2)

Terbang, dari sarang ibu
Bulbulku kembali ke Konya.
Separuh Amerika,
Mata sebiru langit,
Melebarkan sayap,
Sayap kasihnya memelukku.
Bersenandung, di pondokku
Bulbulku memuja Sang Kekasih.
Tersenyum, menghiburku.
Usah bersedih lagi, katanya.
Akan terbang dia ke kotaku,
Menemuiku. Bulbulku!


Konya (3)

Pada cermin kukatakan,
Konya hanya di seberang sana,
Air mata ini hapuskanlah!
Tak seorang lagi pun boleh
Menghisap kebahagiaanku.
Bulbulku rupawan, menawan.
Konya hanya selangkah saja,
Dari tidur panjang bangkitlah!
Biar kekuatan tak lagi meleleh
Mata birunya kupandang selalu.
Pada taman kukatakan,
Indah musim semi di Konya,
Muram musim gugur tinggalkanlah!
Tulip-tulip mekarnya lebih soleh
Daripada pohon-pohon rapuhku. 

24-mei-2014

Hunkar (3)

Secangkir cappuccino, dalam mimpi:
Kubuka jendela, Konya terhampar.
Duduk menatap Hunkar mudaku,
Mata birunya, kulit saljunya.
Hari ini berangkat ke Malatya,
Memanggul waktu, menanggungnya
Dengan riang.
Katakan padaku, ini bukan mimpi.
Sebentar lagi, Hunkar mudaku,
Bersamanya menyeberang langit.

25-mei-2014


Tulip (1)

Tentang tulip-tulip dan musim semi,
Pernah kutanyakan padanya.
Dikirimnya benih sekuntum untukku.
Tapi juga kuhiasi pondokku sendiri
Dengan bunga-bunga liar yang kupetik
Setiap pagi sambil membayangkan
Bulbulku terbang melintas samudra
Menemuiku. Di sini. Di negeriku ini.
Jangan pernah bersedih, katanya,
Tentang sendiri dan sepi
Yang menemani hari-hari kita.
“Tulip-tulip di tamanmu juga indah!”
Katanya padaku.

25-Mei-2014

Anatolia (3)

Tulip mekar yang menundukkan wajah,
Dari kejauhan, dia yang memandangku:
Ceritakan padaku bukit-bukit sembilu,
Permata berwarna-warni di langit biru.
Ingin terbang menanggalkan lelah
Meski sejenak bersamanya, Bulbulku!
Mata birumu sehangat mentari musim semi,
Kulit saljumu sesejuk semilir angin pagi.
Di Anatolia, menari dengannya,
Kappadokya, Malatya, Konya, oh
Bawa kembali aku ke dalam lingkaran,
Jangan lepaskan lagi tanganku.

26-Mei-2014


Mawar (1)

Di tamanku…jauh di dalam kebun jiwaku
Aku menanam sekuntum mawar.
Untuk siapa gerangan?
Untuk dia yang jauh di seberang,
Bulbulku yang rupawan,
Bulbulku yang bersenandung
Memuja hanya untuk Sang Cinta.
Kutinggalkan semua taman yang gersang,
Kebun yang kerontang,
Kutanam sekuntum mawar untuknya.
Hunkar mudaku yang menatapku
Dengan kedua langit biru terangnya.

27-Mei-2014


(Serial Puisi: Musim Semi di Konya)





Tulip (2)

Hari ini
Terbang aku ke Hakkari
Menemui Bulbulku di kuncup
Tulip-tulip jingga.
Dari pondoknya dia tersenyum,
Seperti layang-layang
Aku menjadi ringan.
Sekuntum tulip di hatiku,
Yang kelopaknya memandang bumi,
Tapi menjulurkan pesonanya,
Berpura-pura rupawan dan angkuh,
Karena musim semi telah kembali.

28 Mei 2014


Mawar (2)

Jatuh cinta lagi, aku!
Pada kelopak-kelopak mawar merah
Pada senandung Bulbulku
Di Konya.
Aku tinggalkan padang rumput
Berbunga liar
Tempat aku pernah dipetik
Dan dibunuh.
“Tak ada yang membuatku lebih bahagia,”
Katanya,
“Selain melihat engkau tumbuh kembali.”
Bukan Mawar. Seperti dia.
Tapi dandelion berwarna merah jambu.
Aku kembali. Kataku.

29-Mei-2014


Musim Semi di Konya (1)

Musim semi di Konya
Adalah angan-anganku seorang penari.
Biara di Roma telah menjadi masa lalu,
Dan batu nisanku telah menjadi puing-puing,
Tubuhku yang dulu telah menjadi abu.

Tukang besi di ujung jalan berusaha
Membakarku dengan api yang dia julurkan
Dari jendela. Aku menjerit dan lupa
Aku sudah kembali ke jalan menuju Konya.
Aku lupa sudah musim semi di Konya.
Di seberang jalan sana, senja akan terbit,
aku tahu, aku tahu, aku percaya, aku percaya.

Bulbulku sudah menunggu di pintu gerbang,
Kalau dia tahu aku terluka kembali,
Dia akan bersenandung dari tempatnya
Merdu menggema ke seluruh angkasa,
“Menarilah dengan riang!”

Aku memberikan hatiku kepadanya:
Hunkar mudaku yang menatapku
Penuh percaya. Tak pernah menjatuhkan
Bola emas yang kuambil dari dasar kolam
Tak pula pernah melemparku ke dinding karena
Aku kodok menjijikkan yang melompat-lompat
Dan makan semeja di ruang istana.

Aku tidak siap memikirkan selain dia,
Tulipku yang berwarna jingga,
Di Anatolia.
Selain dia telah kusimpan dalam
Kotak Pandora berwarna kelabu.
Kukubur jauh-jauh di dasar
Gunung Berapi.
Sekarang Musim Semi di Konya.
Aku kembali ke jalan ke Konya,
Menari dan bersenandung riang!

30-Mei-2014