Deras Hujan November
Irena Gendelman |
Deras hujan November
Mulai sering berkunjung
Menapaki rumput kering halaman rumahku.
Demikianlah deras hujan November
Saat aku bertemu dengan seekor peri
Dari hutan tempat tinggal
Orang-orang bunian dan makhluk-makhluk
Berjubah kabut di kaki gunung kelabu.
Aku berkata kepadanya,
Jangan memuji bunga-bunga di tamanku
Sahabat, bukankah di hutanmu sendiri
Bunga-bunga liar lebih menawan
Begitu pula seluruh jamur cendawannya?
Dia tersenyum dan mengirimkan
Daun-daun melalui angin yang bertiup.
Aku juga seekor peri.
Rumahku di atas pohon willow tua.
Dan deras hujan bulan November
Menahanku terbang
Dengan sayap-sayapku yang terluka.
Dia mengirimkan kelopak-kelopak bunga,
Tetesan embun pagi dan akar-akar ilalang,
Jangan menangis, bisiknya
Tersenyum dan mengirimkan semuanya
Melalui angin yang bertiup.
Untuk sayap-sayapmu, katanya.
Dan, begitulah deras hujan bulan November
Setiap aku duduk di atas rumah kayuku,
Angin bertiup sepoi-sepoi mengantarkan
Daun-daun segar berkilau ke pangkuanku.
Desah tangis peri berjubah kabut itu
Terdengar dari kejauhan lebih jelas
Daripada senandung rinai hujan
Yang menari-nari di atas halaman rumahku.
Lewat angin juga kukirimkan senandungku
Untuknya, “Jangan khawatir,
Teruslah mengepak-ngepakkan sayap indahmu.
Kita adalah peri, bukan bidadari...”
Saat sayap-sayapku telah mulai pulih,
Dan peri sahabatku di atas pohon oak tua
Dengan tatapan mata yang anggun
Berkata, mari kita bermain dalam
Deras hujan bulan November,
Dan biarkan angin menghempaskan
Daun-daun kering ke arus sungai
Aku diam tak menggubrisnya.
Katanya lagi, Sahabat, mari kita kenakan
Jubah kebesaran kita dari pelangi
Yang terbit sesudah hujan,
Tetapi aku tetap tak menggubrisnya.
Dan, daun-daun terus dikirimkan
Lewat angin yang bertiup setiap hari
Sering kali lewat kabut yang menjulur
Dari langit, yang menggeliat di antara
Kegelapan dan kemuraman bulan November.
Pesannya, berhati-hatilah pada
Masuk ke rumahmu, yang akan
Mengambil persediaan musim dinginmu.
Bisiknya, jagalah kedua sayapmu
Sebelum engkau benar-benar
Dapat terbang kembali.
Tetapi, di antara tangis langit November,
Aku juga menampung tangis
Yang mengalir deras darinya.
Maka ketika terang aku hanya bermain
Dengan kupu-kupu supaya riang
Dan ketika kelam aku hanya bermain
Dengan kunang-kunang supaya tentram.
Meski tak menunggu hembusan angin,
Tetap kutemukan daun-daun berkilau
Melayang masuk ke halaman rumahku,
Padanya kudengar kerisauan
Akan jubah kabut yang dikenakannya.
Dan dia mendengar senandung sendu
Tentang rayap-rayap yang menggerogoti
Rumah tuaku.
Bangkitlah perlahan-lahan, pintanya
Lenyapkan kekhawatiran, singkirkanlah
Semua rayap dan yakinlah
Batang-batang kayu akan kembali
Teguh dan kokoh.
Sementara hujan bulan November
Semakin sering mengunjungi hutan
Kediamanku.
Air matanya yang melahirkan hawa dingin
Yang mencekam menusuk tulang
Mengantarku terlelap jauh ke negeri-negeri
Antah berantah. Aku lalai
Mengunci pintu-pintu.
Ketika aku terbangun,
Maka kutemukan peri berjubah kabut
Berdiri menangis di seberang halaman rumahku.
Dia murka karena aku belum membersihkan
Rayap-rayap dan tertidur pulas melewatkan pelangi
Yang terbit pagi itu.
Tetapi, waktu itu,
Deras hujan November juga belum mereda.
Kukirimkan daun-daun layu lewat angin
Yang berhembus pelan,
Daun-daun layu yang basah oleh air mataku
Bukan oleh hujan November,
Atau air mata kepedihan dan kemurkaannya.
Aku ingat tentang petualangan
Yang kami arungi melampaui hutan-hutan
Dan gunung-gunung yang membatasi
Juga melampaui angin yang bertiup
Mengirimkan daun-daun jauh dari
Ranting-rantingnya.
Tangisku di antara hembusan angin,
Mengapa engkau memuji bunga-bunga
Di tamanku?
Mengapa engkau menjadi kurcaci
Yang mencuri persediaan musim dinginku?
Mengapa engkau melukai sendiri
Kedua sayap indahmu?
Betapa engkau telah melanggar
Ucapan-ucapanmu sendiri,
Dan menyelubunginya di hadapanku
Seakan-akan aku tidak ingat,
Dan seakan-akan akulah satu-satunya
Yang membuatmu mengirimkan
Daun-daun, sehingga habis
Seluruh kekuatanmu ajaibmu.
Dan, deras hujan November masih menari,
Ketika peri dari rumah pohon oak
Mengulurkan tangan,
Wahai peri!
Mari kita mengenakan jubah pelangi kita,
Sebab hujan sebentar lagi akan reda.
Sayap-sayapmu sudah kuat
Seperti sedia kala.
Dan rayap-rayap telah perlahan-lahan
Kuusir dengan mantra-mantra
Yang dulu tak kuingat.
Aku menyambut tangannya
Dengan riang.
Meski pun demikian,
Ketika angin berhembus,
Dan daun-daun melayang juga ke rumahku,
Kudengar kepak sayap peri berjubah kabut
Lemah mengarungi padang
belantara.
Aku sudah kuat, kataku.
Tetapi, kau,
Janganlah terlalu lama menderita.
Bisikku, di antara kecemasan
Kerinduan dan harapan
Wahai peri!
Deras hujan November
Akan semakin deras sampai Februari,
Tapi Juni akan kembali.
Musim akan selalu berganti!
Kita adalah peri, bukan bidadari.
Petualangan kita
Belum berakhir di sini.
29 November 2013.