Angin yang berhembus.
Meniup melayangkan helai demi helai.
Tubuh dapat mengenalinya, udara,
Menghirupnya untuk bernafas.
Perjalananku dimulai dari sini,
Mengembara dari gerbang ke gerbang.
Dari gerbang pertama sampai gerbang terakhir,
Gerbang keempat.
Tiap-tiap gerbang berjarak sepuluh stasiun,
Sepuluh pilar menyangga setiap gapura.
Dari menjadi sehembus angin,
Aku bergerak kemana pun Dia yang meniupku,
Ke Barat atau ke Timur.
Terkadang aku melaju kencang,
Semakin kencang menjadi badai.
Terkadang aku bergerak sepoi-sepoi,
Semakin lemah gemulai hanya berdesir.
Di gerbang ini aku tunduk.
Kepada Dia yang menghembuskanku.
Perjalananku masih terlalu panjang..
Tetapi, aku – dan juga engkau? – mungkin menjadi jemu
Sepuluh pilar ini,
Terkadang aku dan kau berjalan melambat,
Dari satu stasiun ke stasiun berikutnya.
Menikmati secangkir kopi dan memikirkan,
Tentang layang-layang yang telah terbang
Entah ke cakrawala mana, tersangkut,
Entah di dahan pohon siapa...
Setelah Dia meniupku ke atas bukit,
Telah kudengar setiap Instruksi,
Telah kucatat, telah kubaca, dan telah pula
Ya. Di depan setiap gapura,
Kita dikirimkan Kata-kata sebagai Petunjuk.
Dan, di gapura pertama ini,
Taurat bergelora memancarkan cahaya
- Sebab perjalanan masih panjang,
Siapa gerangan yang hendak tersesat terlalu jauh?
Matahari semakin merangkak naik,
Bintang yang terang itu membara di langit,
Api yang menyala di puncak, menjalarkan
Juga kehangatan, memancarkan Cahaya
yang engkau cari.
Dari tiupan angin menjelma sebagai api.
Aku memberikan terang,
Juga hangat.
Aku menjadikan matang,
Juga hangus.
Terbakar.
Di gerbang ini aku bergelora, bergairah,
Menyala, tercerahkan, sekaligus kepanasan.
Namun, perjalananku masih sangat panjang.
Takutkah aku dan kau akan panasnya yang membara,
Takutkah terbakar?
Takutkah gosong dan menjadi hangus?
Lenyap menjadi abu?
Terkadang hendak kembali,
Dan cemas melanjutkan perjalanan.
Betapa menyakitkannya! Betapa pedih dan perihnya!
Tapi, juga betapa sukacitanya!
Saat kulepaskan lapis demi lapis jubah kemelekatanku,
Aku bernyanyi dan tenggelam dalam Musik-Mu,
Kidung merdu-Mu.
Di gapura kedua ini, Zabur mengalun seirama dengan-Mu,
Suara-Mu, keanggunan-Mu, keindahan-Mu,
Siapa gerangan yang hendak menari dan bernyanyi
Bersama denganku di jalan ini,
Menyusuri setiap stasiun ke gerbang berikutnya?
Begitu hangat mentari mengantar butir demi butir
Air kepada awan yang hendak
Mengubahnya menjadi hujan,
Dari mata air, laut atau sungai yang
Mengalir, kemudian hujan turun
Deras atau gerimis, menjadi banjir,
Danau, atau genangan air di atas genteng
Dan halaman, air yang dituangkan dari
Teko berbentuk bulat kepada gelas berbentuk persegi,
Kepada setiap bentuk ia mengikuti.
Semakin dekat kepada sumbernya, ia murni lagi jernih.
Perjalananku sampai juga di sini.
Dari api yang menyengat menjadi air yang mengalir.
Aku memberikan hidup, tapi juga
Mengambil nyawamu.
Aku bisa menjadi hangat, bisa menjadi sejuk.
Itu terserah padamu, sesuai kebutuhanmu.
Aku menyegarkan, juga menghanyutkan.
Aku membersihkan, juga menenggelamkan.
Perahumu dapat terombang-ambing,
Tapi juga karam.
Berselancar atau berenang,
Mengapung atau menyelami, apa yang kaupikirkan?
Di gerbang ketiga ini,
Aku murni dan memurnikan.
Jikalau tidak yakin untuk melanjutkan,
Mereka bilang diamlah di tepian,
Sebab kau takut akan tenggelam!
Gerbang Syariat dan Tarekat telah dilampaui,
Masihkah ada ruang untuk meragukan,
Di antara tetesan air mata Kekasihku?
Embun yang kuyup menjelma menjadi roti,
Dan goncangan yang lemah lembut,
Mengubah air kepada anggur,
Tidaklah mungkin aku tak mabuk oleh
Kabar Gembira, dari suara Kekasihku sendiri,
Maka, itulah janji manis Kekasihku dalam
Injil. Keraguan sepenuhnya akan sirna.
Selanjutnya apa pun yang kuminta tidak lagi
Berarti, kecuali Engkau sahaja.
Demikianlah setetes air menjadi
Segumpal tanah, dan dibungkus pula
Oleh daging, darah, juga kulit
Yang lentur lagi halus,
Untuk mengecap juga menyentuh,
Merasakan.
Perjalananku akhirnya tiba di sini.
Gerbang terakhir.
Dari air yang kadang tenang kadang berombak,
Aku menjelma sebagai tanah yang
Dapat menjadi gembur, juga tandus,
Sebagai pasir, liat, atau lempung subur.
Apabila terpelihara, akan terus makmur.
Menggantungkan sepenuhnya pada-Ku,
Angin yang menebar benih,
Api yang membakar kalori,
Dan air yang memenuhi dahaga,
Sepenuhnya telah musnah dalam diri-Ku.
Berapa jauh stasiun telah dilalui,
Sampai tanah rela dipijak dan dapat memberi makan,
Gembala-gembala tahu harus kemana mencari rumput,
Petani tak sanggup berlepas dari bajak, tak pernah
Puas dari menatapnya.
Kita semua dengan jiwa dalam bentuk tubuh,
Akan dikubur di sini!
Tapi, tanamlah sebiji benih bunga pada kubur, dan siramlah,
Berilah cahaya matahari, dan biarkan udara terus
Berhembus, lalu, bunga pun akan tumbuh...
Seperti juga jiwa-Ku.
Bukankah
Di tanah yang gersang pun,
Tak ada yang benar-benar mati?
Maka, demi kemuliaan-Ku jualah,
Segala kembali dalam diri-Ku.
Mereka yang mengerti akan membaca-Ku,
Menyatakan Aku, mendeklarasikan Aku.
Nyatakanlah! Saksikanlah!
Demikian itulah Qur’an,
telah Ku-anugrahkan diri-Ku sendiri untuk
Mereka yang hendak meneruskan
Stasiun terakhir Hakikat kepada Makrifat.
Telah membacakah? Telah bersaksikah?
Di sini:
Kembali kepada Adam.
Kepada empat pemandu kuucapkan salam.
Empat gerbang, empat puluh stasiun.
Tiap-tiap gerbang dibangun dengan sepuluh pilar,
Sepuluh stasiun adanya.
Dan, di kota terakhir,
Telahkah menyambut Pembimbing Gerbang terakhir?
Ataukah langsung masuk menyelinap?
Kepadanya kuucapkan salam.
Dia yang akan kembali, kunantikan sejak gerbang pertama.
Bersama salam sejahtera untuk sepuluh pembimbing,
Di antara mereka.
Gayatri Wedotami merangkaikan
Dari Maqalat Haji Bektash Wali